Katanya La Ege

Cerita dari Pelabuhan Raha

Terik siang menyengat kulit. Bergerombol belia bergegas tergesa ke tanjung pelabuhan. Riang nan riak menjemput kapal penumpang rute dari Bau-Bau.

Tak tunggu menepi sempurna, dinding kapal sekejap bergedebukan oleh hujaman lompatan mereka. Ada yang berkepentingan menjajakan jajanan, jasa pikul juga sekadar menjemput.

Terlihat dari geladak, jumlah penumpang dari Bau-Bau tak begitu padat. Masih banyak ruang kapal yang lengang.

Ombak berkilau diterpa mentari, seraya memukul-mukul dinding kapal. Separuh penumpang bergegas turun, bertujuan Raha. Didepan pintu bersiaga tak sabaran sejumlah penumpang.

Antriannya sesak. Kadar sabarnya agak kurang untuk menunggu. Sangat ingin bersegera masuk. Petugas gabungan agak kewalahan menertibkan. Hingga tak jarang sorak teguran terdengar.

Sampai setelah berpuluh-puluh menit bludakkan penumpang pun terurai. Tali tambat dilepas. Kapten mengomando ABK, tanda berlabuh sudah waktunya. Perlahan memutar, kapal pun berlabuh arah Utara. Menuju Kota Kendari.

Lambaian tangan ramai berbalas-balas. Tiga-empat pasang mata berkaca-kaca. Dari air mukanya, ada perpisahan yang harus dirayakan sedemikian. Berat.

Arus balik cukup deras meninggalkan Pulau Muna. Menyisakan kerinduan pada sanak saudara. Melangitkan doa-doa kesuksesan, menumpukkan segala asa dari sang nasib. Dampaknya turut mensunyikan kampung halaman.

Hari demi hari, pasca lebaran arus balik menderas. Perlahan jazirah Muna menyepi. Tak sedikit nian penduduknya merantau. Pasar Laino tak lagi riuh, tempat wisata tak lagi ramai – terkecuali sampahnya. Dan yang pasti penghasilan ojek menurun.

**

Melihat fenomena mudik secara retrospektif, dari tahun ke tahun angkanya cenderung meningkat. Gejala ini mengindikasikan bahwa kebanyakan golongan masyarakat produktif lebih memilih menjajal kehidupan di daerah lain.

Sebagai konsekuensinya, perputaran ekonomi harus melambat. Bonus demografi yang diidam-idamkan tak pelak hanya jadi bumbu diskusi. Yah, biasanya dekat Pilkada atau Pemilu.

Kabupaten Muna terus melahirkan perantau-perantau. Umumnya alasan lapangan pekerjaan menjadi penyebab utama. Disusul alasan mengenyam pendidikan dan sudah berkeluarga di daerah lain.

Berkeluarga di daerah lain karena memang kerjaan juga disana. Artinya apa? faktor ketersediaan lapangan kerja memang dominan jadi variabel utama.

Esok lusa mereka Kaum Wuna Rantau kembali lagi. Momentum seperti ini berulang-alik. Menebus rindu dengan segala langgam bawaan hasil interaksi sosial di daerah rantauan.

Ada yang sukses memanggul harta. Tak sedikit yang pulang mengubah mindset, banyak pula yang mengajak yang lain untuk merantau – meninggalkan kebun. Alamiah menjadi pelaku akulturasi. Lebih dari itu semua, tak sedikit yang hanya pulang membawa logat barunya.

Entahlah, gue hanya bisa kamboi.

Penulis: La Ode Muhram Naadu – LMN

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button