KENDARI-TAJAM.Co, Kantor Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara mendadak digeruduk sejumlah pemuda yang mengaku aktivis dan mahasiswa dari berbagai lembaga, Senin (5 Juni 2023). Mereka menuntut Direktorat Kriminal Umum Polda Sultra segera melakukan gelar perkara kasus penipuan dan penggelapan yang berkaitan dengan pertambangan tahun 2011 di Kabupaten Kolaka.
Para demonstran berasal dari Jaringan Aktivis Keadilan Rakyat Sultra (Jangkar), Aliansi Mahasiswa Pemerhati Rakyat Sultra (Ampera), Gerakan Millenial Pemerhati Hukum (GMPH), dan Lembaga Hukum Pemuda Indonesia (LHPI). Kolaborasi antar lembaga ini dikomandoi Nawir sebagai jenderal lapangan, Rozeli sebagai koordinator lapangan 1 dan Akbar koordinator lapangan 2.
Penyebabnya, penyidik Direskimum Polda Sultra menunda-nunda penyelesaian kasus laporan polisi nomor : LP/B/651/XII/2022/SPKT/POLDA SULAWESI TENGGARA tertanggal 19 Desember 2022 atas nama Muh. Faizal Manomang (pelapor) yang beralamat Jalan Pendidikan No. 39 Kabupaten Kolaka. Ia melaporkan H. Harun Basnapal dengan perkara tindak pidana penipuan dan atau penggelapan pada tahun 2011 di Desa Hakakatobu Kecamatan Pomalaa, Kolaka, senilai Rp 40 miliar.
Pada 28 April 2023, Kasubit II Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sultra mengeluarkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan ke-2 nomor : SP2HP/349/IV/2023/Dit Reskrimum, yang salah satu poinnya menyebutkan, “bahwa tahap penyelidikan telah kita laksanakan. Dan untuk menentukan naik tidaknya perkara dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan akan dilakukan gelar perkara di Direktorat Reserse Umum Polda Sultra”.
Faktanya, sampai saat ini penyidik Ditreskrimum belum melaksanakan ketentuan Pasal 15 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana, yang mana gelar perkara merupakan salah satu rangkaian kegiatan penyidikan tersebut.
Karena itu, Nawir selaku jenderal lapangan menyampaikan lima tuntutan mereka. Pertama, mendesak Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sultra segera melaksakan gelar perkara penyidikan dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan dengan nomor laporan : LP/B/651/XII/2022/SPKT/Polda Sulawesi Tenggara.
Kedua, meminta kepada divisi profesi dan pengamanan (Propam) Polda Sultra untuk memeriksa penyidik Ditreskrimum atas nama Ipda Saenal Amiruddin yang menangani kasus tersebut, karena dianggap tidak profesional, efektif, transparan. Sebab sudah sekitar enam bulan kasus bergulir namun gelar perkara tidak dilakukan.
Ketiga, mengganti penyidik kasus dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan yang menimpa Faizal Manomang dengan tersangka H. Harun Basnapal. Keempat, apabila tidak diindahkan dan tanpa kepastian hukum, maka pihaknya tidak akan meninggalkan Kantor Polda Sultra sebagai bentuk kekecewaan terhadap institusi Polri dalam melakukan penegakan hukum.
“Kelima, meminta untuk tidak mengistimewakan Direktur Utama PT. Akar Mas Internasional (H. Harun Basnapal) dalam proses penyelidikan kasus dugaan tindak pidana penggelapan dan penipuan,” kata Nawir dalam pernyataan sikapnya.
Berdasarkan pasal 15 peraturan Kapolri nomor 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana, tahap kegiatan penyidikan dilaksanakan meliputi : (a) Penyelidikan; (b) Pengiriman Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP); (c) Upaya Paksa; (d) Pemeriksaan; (e) Gelar Perkara; (f) Penyelesaian Gelar Perkara; (g) Penyerahan berkas perkara ke penuntut umum; (h) penyerahan tersangka dan barang bukti; dan (i) penghentian penyidikan.
Gelar perkara dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan pihak pelapor dan terlapor, tidak boleh diwakilkan oleh pihak lain. Jika tidak menghadirkan keduanya, maka gelar perkara yang dilakukan dapat cacat hukum.
Kabid Humas Polda Sultra, Kombes Ferry Walintukan yang dihubungi wartawan Senin (5/6/2023) menjelaskan, proses gelar perkara memang harus dilakukan oleh penyidik sebagai tahapan dalam penyelidikan suatu perkara. Namun mengenai waktu, tergantung pada Ditreskrimum sendiri. Dalam hal ini kewenangan Direktur Reskrimum terhadap penyidik yang menangani perkara.
“Kalau sesuai Peraturan Kapolri yang lama itu ada jangka waktunya dalam penyelesaian perkara. Diberi batas waktu memang. Kalau sekarang beda,” jelas Ferry.
Ketua Pusat Kajian dan Advokasi Hukum Pidana Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra), Lecis, yang dimintai penjelasan terkait prosedur hukum penanganan perkara, membenarkan adanya Peraturan Kapolri tentang tidak adanya batas waktu penyelesaian kasus. Namun, kata dia, masyarakat butuh kepastian hukum. Sehingga wajar mempertanyakan tahapan proses perkara yang ditangani oleh aparat kepolisian.
“Ini persoalan kepastian hukum, kalau terlalu lama pasti dipertanyakan. Meskipun yang diatur hanya jangka waktu penyidikan dan bukan penyelidikan. Notabene sebagai upaya mendapatkan kepastian hukum masyarakat boleh saja mempertanyakan sejauh mana proses penyelidikan sejauh ini. Jangan juga diulur terus waktunya, sampai kapan diulur? Sampai orang lupa kalau sudah melapor? ya makanya harus ada kepastian dan penyidik harus memberikan informasi lewat SP2HP atau tindakan lain yang menunjukan profesionalitasnya,” kata Lecis yang juga pemerhati hukum ini.
Laporan: Gugus Suryaman