Fahamu Adhatino Wuna Sebagai Benteng Pencegahan Tindakan Korupsi
Oleh : La Ode Muhammad Kaisar Demaq
Perilaku korupsi di Nusantara kemungkinan telah lama mengakar, sehingga saat ini menjamur disetiap sudut kampung dan baunya merebak kemana-mana. Sejak awal kemerdekaan Indonesia telah banyak lembaga yang dibentuk dan sanksi yang diterapkan untuk mencegah perilaku korupsi, namun kenyataanya sampai hari ini terus dipertontonkan dan diperdengarkan tentang kisah para koruptor.
Kegiatan memerangangi tindakan korupsi di Indonesia apabila dilihat dari sudut pandang yuridisnya, dimulai sejak Tahun 1957 lewat Peraturan Penguasa Militer No. 6 Tahun 1957 tentang Langkah Pemberantasan Korupsi.
Walaupun ada secercah harapan dibalik data yang dirilis oleh Badan Pusat Statitik (BPS) pada 1 Agustus 2022 terkait Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) masyarakat Indonesia 2022, mengalami peningkatan apabila dibandingkan IPAK masyarakat 2021. Adapun data yang dirilis oleh BPS tentang IPAK tersebut yakni:
1. IPAK Indonesia 2022 sebesar 3,93 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih tinggi dibandingkan capaian 2021 (3,88).
2. Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi, sebaliknya nilai indeks yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi.
3. IPAK masyarakat perkotaan 2022 lebih tinggi (3,96) dibanding masyarakat perdesaan (3,90).
4. Semakin tinggi pendidikan, masyarakat cenderung semakin antikorupsi. Pada 2022, IPAK masyarakat berpendidikan dasar (SD ke bawah) sebesar 3,87; menengah (SMP dan SMA) sebesar 3,94; dan tinggi (di atas SMA) sebesar 4,04.
Dari hasil capain ini sebaiknya tidak boleh takabur dan cepat merasa puas, tetapi semakin memotivasi dan terus berinovasi dengan mencari berbagai macam metode pendekatan untuk memerangi perilaku korupsi. Tindakan korupsi saat ini tidak hanya menyasar masyarakat, tetapi mulai dari kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, dimana dapat tejadi ketika ada kesempatan dan rasa ingin memiliki lebih besar.
Kebanyakan masyarakat saat ini menganggap bahwa, tindakan korupsi merupakan hal yang wajar padahal dari segi perilaku sama saja antara koruptor, penzina, pencuri, perampok, pembunuh dan lain sebagainya. Sebagai langkah preventif dalam memerangi korupsi akan tepat, jika menggunakan pendekatan kearifan lokal di tiap-tiap daerah salah satunya kearifan lokal suku Muna.
Kearifan Lokal Muna Dalam Mencegah Tindakan Korupsi
Apabila ditelisik jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda dan proklamasi kemerdekaan Indonesia, Wuna (Muna) merupakan sebuah negeri yang berdaulat yang memiliki wilayah, penduduk, pemerintahan dan konstitusi yang disebut Adhati.
Menurut Abdul Wahab salah seorang pegiat budaya Muna dalam sebuah wawancara memberikan uraian terkait Adhati bahwasanya, “Muna memiliki sebuah konstitusi yang disebut Adhati yang dimaknai dengan semua hal yang mengikat tentang masyarakat Muna, jadi ruang berlakunya Adhati ini tidak bisa dibatasi dalam prosesi kawin-mawin saja, tetapi dalam semua aspek mulai dalam kehidupan sosial hingga dalam kehidupan bernegara”.
Asal-muasal Adhati ini dari kesepakatan Sarano Wuna (sebuah lembaga yang terdiri dari Raja (Omputo), Perdana Menteri (Bhonto Bhalano), Mintarano Bhitara, Kapitalao, Kapita, dan lain-lain) dan Ulama yang datang berkunjung. Adhati dan Fahamu atau Falsafah Muna berbeda pemaknaan dan tingkatan berlakunya, jadi nilai-nilai dari Adhati bersumber dari Fahamu. Fahamu merupakan hasil renungan Sarano Wuna dan Ulama berdasarkan kejadian masa itu, sehingga dijadikan nilai untuk menjadi pedoman hidup bermasyarakat dan bernegara, kemudian disepakati dan dikemas dalam Adhati.
Istilah Korupsi apabila dipadankan dengan istilah Muna disebut dengan Doalagho, sebagaimana Abdul Wahab menyatakan bahwa, “Doalagho merupakan upaya untuk menguntungkan diri sendiri, bukan hanya dalam pemaknaan menggunakan anggaran kerajaan, tetapi terkait kebijakan yang dikeluarkan, serta pertanggungjawabannya tidak hanya kepada sesama manusia tetapi juga kepada Allah SWT”.
Pemaknaan korupsi apabila dilihat berdasarkan kacamata hukum seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memiliki unsur-unsur berikut yaitu, 1) Kerugian Keuangan Negara, 2) Suap-menyuap, 3) Penggelapan dalam jabatan, 4) Pemerasan, 5) Perbuatan Curang, 6) Benturan kepentingan dalam pengadaan dan, 7) Gratifikasi. Apabila dilihat secara ketatabahaasaan korupsi dimaknai sebagai, “Penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain”.
Menurut Abdul Wahab berdasarkan tutur lisan yang didapat dan didengarnya, ada beberapa fahamu atau Falsafah Muna yang digunakan Sarano Wuna dalam mengadili perkara, dapat juga digunakan untuk memerangi tindakan Korupsi yaitu ;
1. Fahamu Poliwu “Hansuru hansuru badha sumano kono hansuru liwu, Hansuru hansuru ana liwu sumano kono hansuru adhati, Hansuru hansuru ana adhati, sumano tangka agama” yang memili makna (Biar hancur badan asalkan daerah/kampung terjaga, Biar hancur daerah/kampung asalkan adat-istiadat terjaga, Biar hancur adat-istiadat asalkan agama (Islam) tetap tegak).
2. Fahamu Hakunaasi yang bermakna semua hal yang berkaitan dengan hak seseorang yang tidak dapat diambil oleh orang lain. Hakunaasi merupakan salah satu ajaran dalam pogauno toba atau berbaiat kepada ajaran Nabi Muhammad SAW.
3. Mbolaku merupakan ajaran (doktrin) yang bermakna mencuri, karena pada zaman kerajaan mencuri dianggap hal yang sangat tabu dan memalukan.
Falsafah dan doktrin Muna ini menggunakan sanksi sosial berupa, sanksi agama dan sanksi kesusilaan atau moralitas untuk memberikan efek jerah kepada koruptor. Pada Masa Kerajaan Muna selain sanksi moral dan sanksi agama, ada beberapa bentuk sanksi yang di gunakan seperti uraian La Niampe dkk dalam Buku Wuna Anaghaini yaitu, “a) Hukuman Mati, b) Hukuman Pengasingan, c) Hukuman Denda, dan d) Hukuman dijadikan Budak”.
Penanganan tindakan korupsi yang hanya berdasar hukum positif seakan dianggap sebagai perilaku eksklusif, karena berbeda perlakuan antara koruptor dengan pelaku kejahatan lainya. Apabila dikombinasikan dengan kearifan lokal Muna koruptor bisa dicemooh, diberikan denda dan diasingkan dari Pulau Muna, sebagai balasan perbuatannya yang telah merugikan banyak orang.
Contohnya pada zaman dahulu di Kerajaan Muna ada beberapa Omputo, Bhonto Bhalano dan Kapitalao yang pernah dimakzulkan dan diberi hukuman terkait perilaku korupsinya.
Akhirnya, untuk memerangi perilaku korupsi dibutuhkan kemauan dan kesadaran bersama mulai dari arus bawah hingga tingkatan Pemerintah Daerah Muna, untuk mendalami dan menyepakati nilai-nilai Fahamu Adhatino Wuna sebagai benteng atau langkah preventif pencegahan tindakan korupsi.
Pemda Muna sebaiknya mengajak Pemuka agama, Pemangku Adat, Tokoh Masyarakat, Pegiat Budaya dan Akademisi untuk duduk dan berkumpul bersama meramu kembali nilai-nilai Fahamu Adhatino Wuna, menghidupkan kembali Adhati sebagai hukum, dan menghidupakan kembali Sarano Wuna sebagai lembaga adat serta struktur kelengkapan lembaganya.
Hal ini tentunya harus disesuaikan dengan keadaan karena Muna bukan lagi kerajaan yang berdaulat, tetapi salah satu daerah yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mari saling merangkul, kurangi rasa ingin menang sendiri dan satukan perbedaan dalam bingkai Soowite (Untuk Tanah Kelahiran).
Penulis adalah peraih juara 2 Lomba menulis esai yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Muna, yang dinahkodai La Ode Muhram Naadu.
Dalam rangka memperingati momentum Hari Anti Korupsi Sedunia yang jatuh pada 9 Desember 2022 lalu dengan mengusung tema “Pemberantasan Korupsi Berbasis Kearifan Lokal”.