MUNA-TAJAM.Co, Yayasan Hutan Biru (YHB) atau Blue Forests bersama Pemerintah Kabupaten Muna dan Muna Barat baru saja melaunching peluncuran program pengelolaan Mangrove secara terpadu, kolaboratif dan adaptif, Rabu (15/2/2023).
Kegiatan ini dilatar belakangi, lantaran hutan mangrove di Indonesia tengah dihadapkan dengan berbagai ancaman diantaranya deforestasi serta ancaman lainnya seperti pencemaran baik dari terrestrial maupun laut.
Direktur YHB, Rio Ahmad menerangkan, tujuan dari program ini adalah membangun kesepahaman bersama para pemangku kepentingan yang terkait pada isu pengelolaan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Muna dan Muna Barat.
Serta menyepakati rekomendasi tindaklanjut pengelolaan mangrove kolaboratif bersama para pihak hingga di tingkat tapak (Desa).
Menurutnya, Sulawesi Tenggara (Sultra) memiliki luas hutan mangrove sekitar 94.020,40 ha yang tersebar di 16 Kabupaten/Kota. Muna tercatat memiliki tutupan lahan mangrove seluas 7.536 hektar dan Mubar 7.591 hektar.
“Mangrove di dua kabupaten ini telah berkontribusi untuk menyediakan sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir hasil perikanan yang sangat baik, dan manfaat perlindungan masyrakarakat pesisir,” terang Rio melalui press release yang diterima Redaksi Tajam.Co, Kamis (16/2/2023).
Namun, kondisi ini diiringi dengan fakta juga menunjukkan bahwa pada ekosistem mangrove yang memiliki fungsi budidaya dan lindung, diwarnai dengan banyaknya regulasi dan tata kelola yang berbeda-beda satu sama lain.
“Sehingga menimbulkan tumpang tindih regulasi dan kewenangan bahkan kekosongan pengaturan mengancam keberadaan ekosistem mangrove yang memiliki nilai ekonomi sosial dan lingkungan yang tinggi termasuk berperan penting dan signifikan dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” ujarnya.
YHB lanjut Rio, merupakan lembaga non-profit yang mendedikasikan diri pada pemulihan dan pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan dan DAS di Indonesia.
Dengan tujuan utama adalah mengedepankan hak masyarakat tradisional setempat, termasuk nelayan dan petani, dalam mengelola lingkungan secara berkelanjutan dalam rangka meningkatkan daya adaptasi dan pemberdayaan masyarakat pesisir di Indonesia.
“Dalam menjalankan program, YHB menerapkan prinsip pengelolaan kolaboratif bersama para pihak baik pemerintah, swasta, akademisi, lembaga adat, dan masyarakat untuk mendorong sinergitas untuk pengelolaan SDA yang lebih baik,” katanya.
Dengan prinsip kolaboratif dan adaptif, YBH akan menjalankan program CCI (Climate Collective Initiative) di Muna dan Mubar selama 3 tahun (2023-2025).
Pemilihan dua kabupaten ini, lanjut Rio, sebagai strategi untuk mengkreasikan model pengelolaan mangrove yang terintegrasi dengan pemanfaatan ruang lain di wilayah pesisir agar menjadi contoh pengelolaan di wilayah lain di Indonesia.
“Mengacu pada temuan hasil kajian YHB terakhir, terdapat laju penurunan luasan ekosistem mangrove di Muna dan Mubar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir serta potensi degradasi mangrove yang masih akan terjadi secara masif di masa depan jika tidak dilakukan upaya pemanfaatan berkelanjutan dan pencegahan melalui kolaborasi para pihak yang terkait,” ungkapnya.
Program CCI ini memiliki tujuan agar dapat mendorong pengelolaan mangrove terpadu yang dijalankan dengan prinsip kolaboratif dan adaptif di Muna dan Mubar. Untuk mencapai tujuan tersebut, YHB berharap dapat beriringan bersama para pihak untuk menjalankan program pemulihan kawasan mangrove yang teregradasi, program pemberdayaan dan penguatan ekonomi masyarakat pesisir, pemanfaatan berkelanjutan dan perlindungan kawasan mangrove yang eksisting, dan pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan.
Dibutuhkan upaya dan dukungan bersama para pihak, baik pemerintah, swasta, akademisi, lembaga adat, NGO, praktisi dan masyarakat dalam menjalankan program ini.
“Diharapkan selama periode program dapat diperoleh praktik-praktik baik pengelolaan mangrove yang dapat mendukung perekonomian masyarakat dan juga sekaligus dapat melestarikan ekosistem mangrove sebgai jaminan sumber daya di masa depan,” tutupnya.
Laporan: Arto Rasyid