Jejak Candu di Buton
Dalam menjajah berbagai kerajaan di nusantara, VOC sangat lihai. Pelbagai cara dilakukan. Misinya dimulai dari perdagangan lalu dilaksanakan program monopoli dan akhirnya mengadu domba serta melalui penjajahan hukum dan pemerintahan (indirect rules system).
Ada kalanya visinya tertuang dalam bentuk varian jenis perjanjian – Korte Velkaring (perjanjian pendek). Ditindakalnjuti dengan intervensi hukum dan perangkat pemerintahan (divide and rules), Politik Perkawinan, Kerja Rodi dan Pembayaran Pajak, Regeringsreglement (penghalang hak berkumpul), Ordonansi Agama, Guru, Sekolah, Monitoring Haji.
Tak ketinggalan invasi militer yang kadang berbekal merangkul kerajaan satu untuk memerangi kerajaan lain (devide et impera). Semua pola interaksi VOC tersebut nampak secara fisis dampaknya.
Disisi lain sebenarnya ada misi VOC yang sangat berdampak psikis bagi sebagian wilayah-wilayah kerajaan/kesultanan di Nusantara. Yakni upaya pelemahan dengan menggunakan Candu/Opium.
Pemasaran Opium/Candu yang tak terkontrol tentu sangat berdampak stabilitas sosial. Hal inilah kadang tidak disadari sebagai bentuk pelemahan kerajaan/kesultanan yang menjadi objek jajahan – kerjasama VOC.
Candu dan VOC
Candu/Bunga opium (poppy), dalam bahasa Latin disebut Papaver somniferum. Dalam sejarahnya, VOC menjadi penguasa pasar Opium di nusantara pada akhir abad ke-17.
Nicholaes Schagen adalah suksesor perdagangan opium VOC. Ia memulai bisnis tersebut dengan mendatangkan ribuan ton opium dari Bengal untuk dijual di Nusantara.
Pada 1677, Kompeni Hindia Timur Belanda (VOC) bersaing dengan Inggris merebut pangsa pasar opium di nusantara. VOC memenangkan persaingan ini.
Kompeni berhasil memaksa Raja Mataram, Amangkurat II, menandatangani sebuah perjanjian yang menentukan. Inilah cikal bakal monopoli Opium/Candu oleh VOC di hamparan jazirah nusantara (Opium Menguntungkan Penjajah dan Mengapa Ia Ditentang : Husein Abdulsalam).
Bergeser ke Timur Nusantara, sebuah penelitian Persebaran Opium Di Indonesia Bagian Timur Abad XIX oleh Nuranisa dari Pusat Kajian Transformasi Masyarakat, menyebutkan di kawasan Indonesia bagian timur, marak terjadi antara tahun 1850-1870.
Opium yang masuk melalui pelabuhan-pelabuhan Indonesia bagian timur antara lain Makassar, Ambon, Banda, Menado, dan Timor Koepang berasal dari beberapa tempat yang berbeda. Setidaknya terdapat tiga daerah asal impor opium yaitu dari Manila, Benggala, dan India bagian barat.
Candu di Jazirah Buton
Kesultanan Buton merupakan salah satu objek misi dari VOC. Kelicikan VOC yang menggunakan Candu sebagai perusak kerajaan dari dalam mendapat beberapa catatan penting dalam sejarah.
Setidaknya, pelemahan Kesultanan Buton pernah terjadi di awal Kesultanan Sultan Muhammad Idrus. Padahal beliau dengan teguhnya menekankan ideologi kesultanan Sarana Wolio.
Bahwa Penguasa harus menjadi contoh. Faktualnya, saat itu komunikasi agak buruk. Pengawasan antara Kaomu dan Walaka memang kurang. Sultan bahkan mendapati bukan hanya penyalahgunaan kekuasaan. Melainkan perbuatan keji nan kejam pada orang lain. Pencurian, perlakuan kejam, balas dendam, perzinahan, dan perbuatan lainnya.
Candu sebagai pembawa petaka – perusak psikis penguasa di kesultanan setidaknya tercatat pada beberapa referensi yakni :
Kutipan Militaire Memorie van Overgave (Nota Serah Terima Militer) Tahun 1919 :
“Juga ada gerombolan bandit Laode, dari Keraton, yang melakukan sejumlah serangan dengan kekerasan dan perampokan, dan semua ini menyebabkan rakyat Buton di pedalaman jadi seperti sekarang ini.
dan
Kemudian, manakala kaum ningrat dan golongan maradeka menjadi ketagihan pada candu, dan sepenuhnya percaya pada golongan masyarakat yang ketiga, mereka benar-benar sudah kehilangan keberanian dan cita-cita mereka. Golongan masyarakat yang ketiga itu menjadi sulit diatur dan sering tak mau membayar upeti. Tindakan disipliner diambil terhadap kampung yang tidak mau patuh dan nakal, tetapi ini mirip sandiwara dan hanya berguna untuk menebalkan kantong Kapten Laut”.
Selain itu, adapula sumber valid yang menyebutkan :
“Sebelum 1906, sudah berlangsung kebobrokan dalam Kesultanan akibat kemerosotan ahlak. Tidak dapat dipungkiri bahwa menghisap candu merugikan ahlak orang, juga mengingat keterangan yang kami miliki dari Muna”. (Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton : Halaman 102 – 103)
Menilik pada data sejarah tersebut, dampak Candu/Opium pada Kesultanan harus diakui sangat destruktif. Parah. Inilah misi VOC yang kadang luput dari kesadaran untuk dilawan.
Mengapa Candu bisa beredar dan hisap oleh sebagian kalangan? jawabannya adalah Candu bukanlah salah satu barang terlarang saat itu. Melainkan bebas diperdagangkan, dan bahkan menjadi sumber pundi-pundi bagi kesultanan.
Cornelis Speelman – Gubernur Jenderal VOC ke-14 sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas penaklukkan, termasuk Banten hingga Ternate mencatatkan di Buton Candu merupakan komoditi impor saat itu.
Lipatan sejarah itu tercatat dalam Beschrijving en Geschiedenis van Boeten (Ligtvoet : 1878 – halaman 9)
“Speelmans notitie (blz 551) ‘ reeds in zijn tijd bekend om de prauwen, die er gemaakt werden. In het westen strekken de Boetonsche prauwen haar tochten tot Singapoer uit, maar vooral in het oostelijk gedeelte van den Indischen archipel zwerven zij in grooten getale rond, en doen zij dikwijls dienst als vrachtvaarders. De uitvoerartikelen van Boeton, die men echter grooten deels reeds bij de voortbrengselen heeft leeren kennen, zijn: tripang, schildpad, koffie, was, agar-agar, bingkoeroe wortels, sogabast, karoro, balasari, paarlen, karbouwhuiden, karbouwhoorns, haaivinnen en ruw katoen. De voornaamste artikelen van invoer zijn: rijst, opium, ijzer- en aardewerk, Europeesche garens en lijnwaden”,
yang artinya kurang lebih :
“menurut catatan Speelman (hal. 551) ‘ pada zamannya Pulau Binongko terkenal karena perahu yang dibuat di sana. Di sebelah barat perahu Boeton merentangkan perjalanan ke Singapur, tetapi mereka berkeliaran dalam jumlah besar terutama di bagian timur kepulauan India, dan mereka sering berfungsi sebagai pengirim barang. Namun, ekspor Boeton sangat bagus yang sudah banyak dikenal dalam produk adalah: tripang, penyu, kopi, lilin, agar-agar, wortel bingkoeroe, sogabast, karoro, balasari, mutiara, ukiran jangat, tanduk berukir, sirip hiu dan kapas mentah. Barang impor utama adalah: beras, opium, besi dan tembikar, benang Eropa dan biji rami”.
Menariknya, kutipan ini termaktub pula di Buku Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton : Pim Schoorl – halaman 9 ; edisi terjemahan. Namun di bagian ” Barang impor utama adalah: beras, opium, besi dan tembikar, benang Eropa dan biji rami” tidak dimasukan. Notabene kutipan ini berlanjut.
Cukup aneh. Mengingat membahas perdagangan tak hanya ekspor belaka. Tapi tentu impor pula. Mungkinkah ada kesalahan pengutipan oleh sejarawan Buton? Ini sangat menarik.
Meski begitu, hal ini sebenarnya terkonfirmasi pula dalam Buku Sejarah Kebangkitan Sulawesi Tenggara (Kutoyo, Sutrisno (1984) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Proyek Penelitian Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya) ;
“Sampai pada akhir abad ke 19 Sulawesi Tenggara mengeluarkan hasil-hasil : teripang, penyu, agar-agar, kopi, lilin (lebah), mutiara, kulit dan tanduk kerbau, ekor ikan (yu), kapas/kapuk, karoro, bahan-bahan pewarna dari akar bingkuru atau bangkudu (merah) dan kulit pohon soga (hitam), dan balasari (bahan kemenyan). (khusus di Buton), candu, besi, barang pecah belah, dan kain dan benang”.
Keuntungan dan Kerugian
Harus diakui, Opium sebagai komoditi impor di Buton, sebenarnya legal dalam perniagaan. Bahkan Kesultanan sendiri mengambil pundi-pundi dari masuknya barang yang memabukkan ini hingga 2,5 % dari nilainya.
Dalam nota dari gubernur Sulawesi dan taklukannya, tertanggal 30 April 1906 (Missiven Gouvernementssecretaris No.2103, 19 Juli 1906) didapatkan gambaran tentang hak-hak kesultanan Wolio pada periode itu.
“Keterangan yang didapat di sini dikumpulkan dari kapten dan pelaut dari sejumlah perahu, dan para terpisah untuk juru bahasa :
-bea impor dan ekspor dikenakan atas semua barang (kecuali candu) sebesar 2,5% dari nilainya.
-ongkos bersauh atau berlabuh (labu batu) dikenakan f 0,60 untuk kapal kecil pribumi dan f 1 untuk kapal yang lebih besa.
-untuk paspor dan pas jalan baik untuk orang bepergian maupun perahu masing-masing dikenakan ongkos antara f 3,60 dan f 7,50.- untuk impor candu dikenakan pajak antara f 24 dan f 50 setiap peti”.
Dalam skema politik dagang VOC, sebagaimana dikutip dari Jurnal Lensa Budaya, Vol. 13, No. 2, 2018., pada abad ke-19 di Hindia Belanda, keuntungan yang didapat dari opium sangatlah besar. Terutama karena menjadi konsumsi oleh semua kalangan mulai dari raja, pembesar kerajaan dan orang Cina, sampai pada masyarakat pribumi rendah.
Jadi, sebenarnya VOC dua kali untung. Secara materil, yakni dari hasil perdagangan. Juga secara imateril, yakni dampak yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan opium di wilayah Kesultanan.
Opium pada masa itu dikonsumsi sebagai obat juga dikonsumsi sebagai alat kesenangan. Selain itu pula sebagai simbol keramahtamahan umumnya bagi pembesar kerajaan.
Secara latar temporal, berdasarkan konfirmasi latar waktu dari serangkaian catatan sejarah diatas, Opium/Candu dihisap di Buton terjadi hingga awal abad 20. Perihal awal- muasalnya kapan, tidak ada catatan yang pasti.
Mungkinkah kita menilik Politik Perdagangan Kesultanan Buton (Janji Baana/“Kontrak Perjanjian Shcet-Elangi – 5 Januari 1613, antara Komandeur Appolonius Schet atas nama VOC dengan Sultan Dayanu Ikhsanuddin), dimana perdagangan VOC sejak itu digelari karpet merah oleh kesultanan?
Dalam penalaran spekulatif yang wajar bisa terlahir hipotesa bahwa Buton menjadi pangsa pasar Candu sejak awal abad ke 17. Benarkah demikian?Menarik untuk diteliti!
Penulis: La Ode Muhram Naadu (LMN).
Sumber :
Api Sejarah Jilid II : Ahmad Mansyur SuryanegaraBeschrijving en Geschiedenis van Boeten (Ligtvoet : 1878)
Butonmagz.id
Jurnal Lensa Budaya, Vol. 13, No. 2, 2018Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton : Pim Schoorl)
Militaire Memorie van Overgave (Nota Serah Terima Militer) Tahun 1919
Missiven Gouvernementssecretaris No.2103, 19 Juli 1906
Opium Menguntungkan Penjajah dan Mengapa Ia Ditentang : Husein Abdulsalam
Persebaran Opium Di Indonesia Bagian Timur Abad XIX oleh Nuranisa dari Pusat Kajian Transformasi Masyarakat
Sejarah Kebangkitan Sulawesi Tenggara (Kutoyo, Sutrisno (1984) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Proyek Penelitian Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya)