Kisruh Kebijakan
Manusia adalah mahluk politik- zoon politicon. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mungkin saja ada yang tidak sadar, jika ternyata ia telah berpartisipasi politik. Ukuran partisipasi politik itu tidak terlimitasi dampak. Dan juga subyeknya melainkan sebagai warga negara
Huntington mendefenisikannya, sepanjang itu mencakup kegiatan-kegiatan ; dalam peran sebagai warga negara ; untuk mempengaruhi, pembuatan keputusan pemerintah (tanpa peduli efeknya).
Kenapa ada desakan, demonstrasi, petisi, anarkisme, protes dsb? Bukankah pemerintah adalah representasi rakyat – menyerap aspirasi rakyat?
Tidak selamanya..
Representasi itu berarti dua. In ideas dan in presence. Keterwakilan fisik belum tentu mencerminkan keterwakilan aspirasi. Begitu penjelasan sederhananya.
Keterwakilan fisik dan aspirasi adalah niscaya. Pada tingkatan tertentu akan ada konflik kepentingan. Makanya harus terkontrol. Intensitas alat kontrol ini merupakan gejala sosial yang sebenarnya dapat ditakar
Yah, tinggal melihat pada dua varian, yakni kepercayaan terhadap pemerintah dan kesadaran politik.
Jika kesadaran politik dan kepercayaan terhadap pemerintah tinggi, maka partisipasi politik akan aktif. Namun ketika kesadaran politik dan kepercayaan terhadap pemerintah rendah, maka partisipasi politik cenderung pasif-tertekan.
Manakala kesadaran politik tinggi, kepercayaan terhadap pemerintah rendah, maka partisipasi politik akan melahirkan militan radikal. Dan saat kesadaran politik rendah, kepercayaan terhadap pemerintah tinggi, maka partisipasi politik akan pasif.
Kisruh
Dibalik kisruh kebijakan, setidaknya ada beberapa faktor penyebabnya yang mencuat. Sependek analisa saya, terbagi dua bagian. Yakni dapat ditinjau dari aspek hukum juga non hukum.
Pertama, aspek hukum:
- Sosialisasi kebijakan yang tidak menjangkau kelompok masyarakat tertentu. Notabene masyarakat memiliki hak atas ini. Karena setelah diundangkan, semua masyarakat dianggap tahu (fictie theory);
- Penyerapan aspirasi yang tidak representatif secara ide (represence of idea);
- Kurangnya pemahaman masyarakat tentang fakta dibalik perumusan materi kebijakan. Notabene, akademisi dibalik kajian akademis adalah pentolan dunia hukum di Indonesia;
- Perbedaan metode penafsiran dari pengemban ilmu hukum. Baik teoritis pun praktik (toeschower/medespler). Hal ini lumrah, namun efek perdebatannya meluas;
- Ada beberapa materi kebijakan yang notabene masih memiliki ruang kontroversial;
Kedua, aspek non hukum :
- Pergesekan kepentingan politis praktis dalam materi kebijakan;
- Proses simplifikasi penafsiran dari ragam bahasa hukum (legal language) menjadi bahasa pergaulan. Sehingga apa yg dipahami masyarakat berbeda jauh, terplintir dari apa yang dimaksud oleh pembuat kebijakan. Inilah yg tersebar masif mengalahkan sosialisasi dari pembuat kebijakan;
- Kemampuan literasi masyarakat. Faktor minat baca yang tinggi namun daya baca rendah;
- Kelompok masyarakat tertentu yg menafsir secara inkompeten lalu menyebarkannya. Artinya, masih banyak akademisi-meskipun doktor dan kompetensinya soal pacul memacul tanah, palu besi atau bakteri dsb. tetapi penuh percaya diri tampil bak pakar hukum. Otoritas ini yang sering divalidasi oleh masyarakat awam;
- Dua kelompok perusak yang masif. Yang pertama, kelompok pemanfaat isu. Yang tidak tepat jika dibilang penunggang. Sebab tidak ada yang mau jadi kudanya. Yang kedua, Buzzer-Penjilat Penguasa. Sedikit-sedikit dikaitkan dengan serangan ke pemerintah.
Masyarakat tidak boleh buta politik. Tidak boleh pasif terhadap isu kebijakan. Keterlibatan dalam pengambilan kebijakan adalah bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem demokrasi yang kita anut. Tidak hanya menyalurkan hak politiknya, tapi menjadi pelita dari gelap-kelamnya buta politik, yang oleh Beltolt Brecht dikatakan sebagai buta terburuk.
Penulis: La Ode Muhram Naadu