Oleh : Rasid Ramadan S.H.
Konstitusi adalah kumpulan asas-asas yang mengatur dan menetapkan kekuasaan dan pemerintah, hak-hak yang diperintah, dan hubungan antara keduanya atau antara pemerintah dengan yang diperintah.
Konstitusi dipergunakan untuk menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yang merupakan kumpulan peraturan yang menetapkan dan mengatur atau menentukan pemerintah.
Ide konstitusionalisme menjadi tumpuan kehidupan bernegara dalam upaya mewujudkan hukum yang supreme di suatu negara yangdemokratik, dalam pandangan Soetandyo Wignjosoebroto harus dikembalikan kepada esensi doktrinalnya yaitu pertama, doktrin kebebasan sebagai hak manusia yang asasi dan kodrati karena hak tersebut ada meskipun tidak diberikan oleh negara. Kedua, doktrin rule of law yang menjadikan hukum sebagai ide dasar tertinggi di antara norma apapun di dalam kehidupan bernegara.
Konstitusionalisme merupakan komponen intergral dari pemerintahan demokratik. Di Indonesia UUD NRI Tahun 1945 merupakan ide konstitusionalisme dalam kehidupan bernegara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Tahun secara tegas mengatur bahwa kedaulatan sepenuhnya berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Ketentuan ini mensyaratkan bahwa kedaulatan rakyat (demokrasi) harus dijalankan berdasar atas kedaulatan hukum dan konsititusi (nomokrasi) sebagaimana ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara Hukum (Rechtstaat).
Konsepsi kedaulatan rakyat (demokrasi) dan Rechtstaat tidak bisa dibicarakan secara terpisah, sebab gagasan mula tentang keberadaan negara merupakan gagasan tentang kekuasaan, dimana secara substansi negara sebagai organisasi kekuasaan berkaitan erat dengan bagaimana negara memperoleh kekuasaan dan bagaimana negara menjalankan kekuasaannya.
Oleh sebab itu, demokrasi sebagai konsepsi kedaulatan rakyat tidak dapat dijalankan tanpa mengedepankan hukum dan konstitusi, melepaskan ikatan rechtstaat dari demokrasi ataupun sebaliknya, akan menciptakan kesewenang-wenangan kekuasaan, yang jelas bertentangan dengan kedaulatan hukum itu sendiri (nomokrasi).
Dalam menjalankan kekuasaan negara yang kaitannya dengan negara demokratis, diperlukan adanya alat-alat perlengkapan negara yang berfungsi untuk merealisasikan tujuan bernegara sebagaimana diatur dalam konstitusi suatu bangsa.
Alat-alat perlengkapan negara sebagaimana dimaksud merupakan perwujudan dari organisasi-organisasi kekuasaan negara, baik yang wujudnya berupa lembaga, organ, komisi, ataupun berbentuk badan-badan negara. Menurut pendapat Jimly Asshiddiqie, penyelenggaraan negara yang menjalankan suatu fungsi dijalankan oleh sebuah organ atau sering pula disebut lembaga negara.
Kebutuhan adanya alat-alat perlengkapan kekuasaan negara dapat ditelusuri dari pemikiran Montesquie yang mengklasifikasi 3 (tiga) cabang utama kekuasaan negara yakni kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif (Trias Politica).
Pemisahan dan pengelompokkan cabang-cabang kekuasaan negara yang selanjutnya disebut sebagai pemisahan kekuasaan (separation of power) diilhami oleh pemikiran bahwa suatu kekuasaan tidak boleh terpusat pada satu tangan atau cabang kekuasaan tertentu.
Diperlukan cabang-cabang kekuasaan yang dapat saling ‘mengawasi’ (checks) dan saling ‘mengimbangi’ (balances). Sehingga suatu kekuasaan dapat dibatasi dan dikontrol utamanya oleh masing-masing cabang kekuasaan.
Namun seiring pergeseran cara pandang negara hukum modern dan kebutuhan penyelenggaraan kekuasaan negara di belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia, dimana cabang-cabang kekuasaan negara juga ikut mengalami pergesaran atau bahkan penambahan organisasi kekuasaan.
Pergeseran paradigma organisasi kekuasaan negara yang paling kontemporer misalnya adanya gagasan atau konsepsi tentang komisi-komisi negara Independen atau State Auxiliary Agencies.
Menurut Hendra Nurtcahyo State Auxiliary Agencies atau juga disebut sebagai lembaga negara penunjang yang pada dasarnya merupakan lembaga-lembaga, komisi-komisi, atau berbentuk suatu badan yang muncul untuk menjalankan fungsi-fungsi negara sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari tujuan-tujuan negara yang telah ditetapkan dalam konstitusi.
Oleh sebab itu, State Auxiliary Agencies disebut pula sebagai lembaga negara penunjang yang dibentuk untuk menunjang fungsi lembaga-lembaga negara inti baik yang berada di cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Dalam praktinya, State Auxiliary Agencies bersifat sebagai lembaga negara yang subordinatif, dan tak jarang pula bersifat koordinatif.
Selain pada sifatnya yang demikian, State Auxiliary Agencies juga dapat berfungsi ganda, misalnya satu lembaga dapat memegang dua hingga tiga fungsi sekaligus: fungsi legislatif (regulatif), fungsi eksekutif (operasional-administratif), dan/atau fungsi yudisial (punishment/hukuman). Pencampuran lebih dari satu fungsi sangat dimungkinkan. Selain karena sifat independensinya, State Auxiliary Agencies juga memiliki derajat independensi yang berbeda satu dengan lainnya.
Di Indonesia, alasan pembenar dari konsitusionalitas State Auxiliary Agencies dapat ditemukan dalam batang tubuh UUD NRI Tahun 1945. Salah satunya dapat ditemukan keberadaaannya dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan hasil amandemen ketiga UUD NRI Tahun 1945 yang juga menjadi landasan konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 adalah dasar legitimasi yuridis dari model sirkulasi kekuasaaan eksekutif (juga kekuasaan legislatif) melalui mekanisme pemilihan umum. Oleh pembentuk UUD NRI Tahun 1945, Pemilu dianggap sebagaiperwujudan kedaulatan rakyat yang prosedural dan efektif dalam melembagakan daulat rakyat secara regular (5 tahun sekali).
Pasal 22E UUDNRI Tahun 1945 tidak hanya mengatur dasar yuridis mekanisme demokrasi prosedural (Pemilu), tetapi juga mengatur apa dan siapa yang diberi kewenangan untuk menjalankan Pemilu.
Sebab, untuk memenuhi prinsip-prinsip Pemilu yang Luber dan Jurdil, idealnya harus dijalankan oleh suatu lembaga penyelenggara yang didesain untuk menyelenggarakan suatu Pemilihan umum. Oleh Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, pembentuk UUD Tahun 1945 menghendaki dan mememerintahkan pembentukan “…suatu komisi pemilihan umum”.
Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 merupakan akar konstitusionalisme pembentukan lembaga penyelenggara Pemilu sebagai suatu cabang kekuasaan diluar 3 (tiga) cabang kekuasaaan konvensional. Rumusan Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 memberikan petunjuk bahwa pemilihan umum mestinya dijalankan oleh “suatu komisi pemilihan umum”. Frasa “suatu komisi pemilihan umum” yang ditulis dengan huruf kecil (bukan huruf kapital) menunjukan perlunya sebuah badan atau lembaga-lembaga yang difungsikan sebagai penyelenggara Pemilu. Landasan argumentasi penulis merujuk pada pendapat Mahkamah Konsitusi melalui Putusan Nomor 81-PUU-IX-2011 yang menyatakan:
“Bahwa untuk menjamin terselenggaranya pemilihan umum yang luber dan jurdil, Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Kalimat “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 pun juga tidak berdiri sendiri dan terpisah dengan rumusan dalam Pasal 22E ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan “ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Frasa “diatur dengan undang-undang” menunjukan adanya kehendak pembentuk UUD 1945 untuk memberikan kewenangan atributif pelaksana kekuasaan pembentuk undang-undang dalam hal ini kekuasaan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk menerjemahkan sekaligus memberikan bentuk lembaga atau badan-badan penyelenggara Pemilu seperti apa yang akan difungsikan sebagai penyelenggara pemilu.
Dengan adanya atribusi kewenangan yang diberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk memilih, menentukan, membentuk, dan melegalkan lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu melalui produk hukum berbentuk Undang-undang, maka sepatutnya pemberian nama, bentuk, dan jenis kewenangan penyelenggara pemilu diatur melalui Undang-undang.
Keberadaan lembaga penyelenggara Pemilu dalam produk hukum berbentuk Undang-undang dapat dilihat secara lugas dalam batang tubuh Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum yang menyebutkan:
“Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat”
Berangkat dari pengertian Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, maka dapat dipastikan bahwa lembaga atau badan penyelenggara pemilu yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang sebagai tindaklanjut atas perintah atributif pembentuk UUD NRI Tahun 1945 adalah Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Dengan demikian, struktur dan kedudukan konsitusionalitas lembaga penyelenggara pemilu yang ditarik dari Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 hanya mengenal 3 (tiga) struktur lembaga penyelenggara Pemilu sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Berkenaan dengan konsitusionalitas Badan Pengawas Pemilu, apakah secara konstitusional Bawaslu dapat dikatakan sebagai lembaga pengawas penyelenggaraan Pemilu sementara Bawaslu tidak disebutkan secara expressive-verbis didalam batang tubuh UUD 1945? Apakah dengan demikian Bawaslu tidak sepatutnya memiliki kewenangan murni untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu?
Jika menarik rumusan Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, tidak menunjuk pada satu atau suatu badan atau lembaga penyelenggara Pemilu tertentu saja, atau tidak menunjuk pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) semata, melainkan menujuk pada fungsi lembaga penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggara Pemilu yang secara yuridis diatur melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pandangan bahwa karena Bawaslu tidak disebut secara expressive-verbis dalam batang tubuh UUD NRI Tahun 1945, maka Bawaslu tidak memiliki kewenangan murni sebagai lembaga pengawas pemilu juga tidak dapat dijadikan alasan pembenar.
Sebab, rumusan Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 merupakan rumusan dari kehendak pembentuk UUD NRI Tahun 1945 yang telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga penafsir tunggal konsititusi, yang menafsirkan keberadaan Bawaslu merupakan kehendak konstitusi sebagaimana tercermin dalam pandangan hakim Mahkamah Konstitusi melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81-PUU-IX-2011 yang menyatakan:
“….termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Pengertian ini lebih memenuhi ketentuan UUD 1945 yang mengamanatkan adanya penyelenggara pemilihan umum yang bersifat mandiri untuk dapat terlaksananya pemilihan umum yang memenuhi prinsip-prinsip luber dan jurdil. Penyelenggaraan pemilihan umum tanpa pengawasan oleh lembaga independen, akan mengancam prinsip-prinsip luber dan jurdil dalam pelaksanaan Pemilu. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) …………., harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan umum,…”
Berdasarkan tafsir MK Nomor 81-PUU-IX-2011, maka Bawaslu merupakan lembaga penyelenggara pemilu yang dibentuk untuk memenuhi kententuan Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. Pandangan MK dalam putusan Nomor 81-PUU-IX-2011 juga dapat dinyatakan bahwa ketiadaan keberadaan (nir-eksistensi) Bawaslu sebagai lembaga pengawas penyelenggaraan Pemilu akan mengakibatkan ancaman terhadap prinsip-prinsip absolut penyelenggaraan Pemilu yakni Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil (Luber-Jurdil).
Kedudukan hukum Bawaslu sebagai lembaga pengawasan penyelenggaraan Pemilu, kemudian diatur lebih lanjut dan rigid dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum secara tegas selain mendefinisikan Bawaslu sebagai satu-kesatuan lembaga penyelenggara Pemilu, dalam Pasal 89 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga menjelaskan alat-alat kelengkapan Bawaslu dalam fungsinya sebagai lembaga penyelenggara pengawasan Pemilu.
Dengan demikian, rumusan Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 relevan antara tafsir Putusan MK Nomor 81-PUU-IX-2011 terhadap rumusan kehendak Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 dengan Pasal 1 angka 17 jo. Pasal 89 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Sekalipun berdasarkan fungsi pembentukannya Bawaslu dikelompokkan sebagai lembaga negara penunjang (State Auxiliary Agencies) karena tidak disebutkan secara expressive-verbis dalam batang tubuh UUD 1945, namun berdasarkan sumber pembentukannya, Bawaslu dibentuk berdasarkan kehendak pembentuk UUD NRI Tahun 1945 atau bersumber dari ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 (vide Putusan MK No. 81-PUU-IX-2011). Maka dari itu, secara yuridis, Bawaslu memiliki dasar hukum konstitusional sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang didesain sebagai penyelenggara pengawasan pemilu.
Bawaslu sebagai lembaga yang diberi amanah oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum untuk menjalankan fungsi pengawasan pemilu dan menjamin demokrasi dengan melaksanakan sistem penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien. Bawaslu adalah lembaga yang menjamin Pemilu yang demokratis (Fair Elections), yaitu Pemilu yang mampu menjamin kontestasi yang berkeadilan dan menjunjung kesetaraan.