Opini

Kurangnya Transparansi Kasus Korupsi PT Pertamina Patra Niaga : Apakah Kasus Ini Sudah Diusut Tuntas?

Oleh : Aprilia Saraswati (Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo)

Kurangnya Transparansi Kasus Korupsi PT Pertamina Patra Niaga : Apakah Kasus Ini Sudah Diusut Tuntas? Kasus korupsi yang melibatkan Pertamina sebagai perusahaan minyak dan gas bumi nasional, tidak bisa dianggap sebagai kasus korupsi biasa. Kasus ini bukan hanya kasus, tetapi juga merupakan simbol dari permasalahan besar dalam tata kelola negara dan penegakan hukum di Indonesia. Pertamina, sebagai salah satu BUMN terbesar dan penyumbang devisa utama negara, seharusnya menjadi contoh transparansi dan akuntabilitas. Namun fakta di lapangan seakan mengkhianati hal tersebut. Justru perusahaan besar itu pula yang seharusnya menjadi teladan, tetapi sebagian justru memberikan kerugian yang sangat besar bagi negara kita tercinta ini. Laporan BPK ( Badan Pemeriksa Keuangan ) menyebutkan adanya kerugian negara hingga triliunan rupiah akibat korupsi dan penya lahgunaan wewenang. Mereka seakan lupa dengan tugas mereka dan melupakan apa yang seharusnya mereka lakukan demi memperkaya diri mereka sendiri, tanpa memikirkan akibat dan kerugian karena perilaku mereka.

Baca Juga : Kolaborasi Pemkab Muna dan Cendekia Legal Research Rumuskan Raperda BUMD

Bahkan berbagai nama pejabat tinggi disebut-sebut terlibat  dalam penggelembungan nilai, manipulasi kontrak, dan kolusi dengan perusahaan swasta. Kita sebagai kaum awam hanya bisa bertanya-tanya, Ada apa dengan para penguasa kita ?. Namun, yang membuat public lebih heran, saat ini justru kasus ini tenggelam dan menghilang secara perlahan. Mengapa kasus-kasus besar seperti ini justru seakan dibisukan. Sejumlah lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung pernah menyatakan komitmen untuk mengusut tuntas kasus ini. Namun saat ini fakta yang kita ketahui bersama, belum ada perkembangan signifikan yang mebuktikan proses hukum berjalan transparan dan adil. Alih-alih mendapatkan kejelasan, masyarakat justru disuguhi berita simpang siur yang menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan. Berita ini seakan-akan di tutup-tutupi , apakah ini merupakan strategi dari mereka afar kita perlahan bisa melupakam masalah ini. Mengapa kasus korupsi yang melibatkan kaum elite justru tenggelam atau berhenti ditengah jalan. Dimana sebenarnya peran hukum dalam kasus krusial seperti ini?

Kronologi Kasus

Kasus korupsi yang menyeret PT Pertamina Patra Niaga bermula dari praktik tata kelola minyak mentah bermula dari dari praktik tata kelola minyak mentah dan produk kilang minyak yang menyimpang sejak tahun 2018. Dalam kurun waktu 2018 hingga 2023, diduga telah menjadi manipulasi dalam distribusi dan pengadaan minyak mentah, serta penjualan bahan bakar minyak (BBM) yang menimbulkan kerugian besar bagi negara. Pertamina Patra Niaga mengimpor minyak mentah melalui perantara atau broker dengan harga yang lebih mahal, sementara Indonesia memiliki pasukan domestic yang cukup. Selain itu, praktik menjual BBM jenis Pertalite(RON 90) sebagai Pertamax (RON 92) dilakukan secara luas, yang secara langsung merugikan negara dan konsumen. Minyak dari kontraktor local justru dijual ke luar negeri dengan harga lebih rendah, menandakan tata kelola yang tidak berpihak pada kepentingan public.

Kemudian pada Februari 2025 kasus ini kemudian terbongkar, setelah audit dan penyelidikan mendalam oleh Kejaksaan Agung, terungkap bahwa kasus bahwa praktik ini menyebabkan kerugian negara hingga Rp 193,7 triliun. Seperti yang kita ketahui bahwa jumlah ini sangat-sangat fantastis. Sebagai tindak lanjut, Kejaksaan menetapkan beberapa tersangka seperti Riva Siahaan selaku Direktur Utama  PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin selaku Direktur Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional, Yoki Firnandi selaku Direktur Pt Pertamina Internasional Shipping. Ketiganya dituding sebagai tokoh utama dari praktik kotor ini. Kemudian pada Maret lalu ada penambahan tersangka , dua tersangka baru kemudian mencuat ke permukaan yaitu Maya Kusmaya sebagai Direktur Pemasaran  Pusat dan Niaga Patra Niaga, dan asisten manager cryde oil domestic PT Kilang Pertamina Nusantara. Jadi jumlah total tersangka adalah 9 orang. Fakta kerugiaan negara terkait dengan kasus ini diperirakan mencapai Rp 193,7 triliun. Kasus ini menunjukan bahwa kasus korupsi di sector energy bukanlah tindakan yang secara spontan dilakukan tetapi sudah terstruktur dalam manajemen, dengan keterlibatan berbagai divisi dan direksi. Ironisnya meskipun menimbulkan kerugiaan negra yang jumlahnya tidak main-main tetapiu penanganan dari kasus ini belum mencerminkan kecepatan dan ketegasan yang seharusnya ada. Proses hukum berjalan lamban dan masyarakata tidak memperoleh informasi yang transparan.

Meskipun kejaksaan telah menetapkan 9 tersangka dalam kasus ini, tetapi dalam penanganan kasus ini belum adanya keterbukaan dalam penanganan kasus ini. Berbeda dengan ekspektasi public bahwa penegakkan hukum ini harus transparan, penanganan kasus ini justru di tutup-tutupi. Meskipun beberapa pihak telah diperiksa tetapi seharusnya harus ada keterbukaan dalam pelaksaan segala prosedur hukum agar tidak menimbulkan berita simpang siur di masyarakat. Seiring berjalannya waktu kasus ini justru tenggelam tanpa kabar hal ini menimbulkan pertanyaan di kalangan masyrakat, mengenai bagaimana kelanjutan dari kasus ini. Kasus seperti justru sebaliknya harus terus di evaluasi untuk mengetahui perkembangannya dan bisa dilakukan secara transparan sesuai dengan prosedur hukum.

Kasus ini pada awalnya memang menjadi sorotan utama media, tetapi hanya dalam tahap awal saja. Setelah itu, nyaris tidak ada lagi investigasi lanjutan. Ini juga menandakan lemahnya partisipasi public dalam pengawasan kasus-kasus korupsi yang melibatkan korporasi negara. Kasus ini melibatkan sejumlah tokoh strategis yang pernah memegang peran penting yang masih terkait dengan mereka hingga kini. Posisi hukum mereka yang ambigu menimbulkan kekhawatiran bahwa penyelidikan menyeluruh akan ditentang. Benarkah penegak hukum itu independen? Atau apakah mereka terlalu tertekan secara ekonomi dan politik untuk melawan?

Baca Juga : Dibalik Tembok Tinggi Rutan Kelas II B Raha 326 Warga Binaan Ikut Rasakan Hikmat Ibadah Kurban

Hal ini tentu memberikan dampak yang serius, stabilitas ekonomi sektor energi secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh korupsi yang mengakibatkan kerugian pemerintah hingga triliunan rupiah. Hal ini lama kelamaan akan menurunkan daya beli masyarakat, menyebabkan ketimpangan energi, dan menghambat pertumbuhan ekonomi lokal. Dalam industri energi, PT. Pertamina merupakan simbol BUMN dan negara. Kepercayaan publik terhadap negara semakin tercoreng ketika korporasi tersebut terus menerus dirundung skandal korupsi tanpa penyelesaian tuntas. Publik pun mulai bertanya-tanya: BUMN sebenarnya bekerja untuk siapa? Untuk elite internal atau untuk rakyat? Keabsahan kebijakan energi, termasuk kenaikan harga BBM, inisiatif transisi energi, atau reformasi BUMN, juga akan dipandang dengan skeptis dan pertentangan setelah kepercayaan publik tercoreng. Insiden Patra Niaga menunjukkan masih kurangnya pengawasan eksternal dan internal yang efektif dalam industri energi. Bentuk pemerintahan yang ideal, yang seharusnya.

Kajian Sosiologi Hukum: Kasus Korupsi Pertamina dan Patra Niaga

Menurut sosiologi hukum, hukum berfungsi dalam jaringan kepentingan dan kekuasaan, bukan secara imparsial. Elit politik dan anggota berpengaruh dari lingkaran korporasi BUMN memiliki pengaruh signifikan terhadap bagaimana proses hukum berlangsung dalam kasus korupsi PT. Pertamina dan PT. Patra Niaga. Teori konflik hukum Karl Marx menyatakan bahwa kelas penguasa menggunakan hukum sebagai alat untuk menegakkan status hukum. Penanganan kasus ini yang tertunda, tidak transparan, dan bahkan “dilindungi” menunjukkan bias sistemik dalam penegakan hukum. Ketimpangan dalam akses terhadap keadilan tercermin dalam hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Studi sosiologi hukum juga menyentuh topik budaya hukum, khususnya seberapa baik masyarakat memahami, mematuhi, dan mengawasi bagaimana hukum diterapkan. Ketika menyangkut insiden korupsi yang serius, masyarakat umumnya apatis dan pemaaf. Penegakan hukum tidak mendapat banyak tekanan publik. Masyarakat sudah mulai lelah dengan banyaknya skandal yang belum terselesaikan, yang telah menyebabkan kelelahan moral.

Budaya hukum (cara masyarakat memandang hukum), substansi hukum (undang-undang), dan struktur hukum (lembaga) membentuk sistem hukum, menurut Lawrence Friedman. Undang-undang dan lembaga hukum juga akan kehilangan tujuan sosialnya jika budaya hukum tidak memadai. Tujuan utama hukum dalam masyarakat adalah menegakkan keadilan dan berfungsi sebagai alat penyelesaian konflik. Namun dalam kenyataannya, hukum mungkin tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Mengenai Patra Niaga: Penegakan hukum tampaknya selektif dan tidak konsisten, keterlibatan publik dalam prosedur penyelidikan tertutup sangat minim, pelanggaran hukum jarang dilaporkan di media dan tidak langsung dituntut, hal ini bertentangan dengan asas keadilan prosedural, yang menjamin adanya pemerataan, keadilan, dan transparansi dalam penegakan hukum. Menurut Robert K. Merton, perilaku menyimpang seperti korupsi mungkin merupakan sebuah inovasi adaptasi orang-orang yang ingin meraih tujuan (uang, kekuasaan) tetapi melakukannya secara ilegal. “Normalisasi penyimpangan” adalah apa yang terjadi ketika penyimpangan ini terus berlanjut tanpa konsekuensi yang serius: Dalam sistem BUMN, korupsi dianggap sebagai hal yang wajar. Rasa malu dan ancaman hukuman hukum telah sirna, integritas lembaga publik terancam.

Wajah gelap lemahnya penegakan hukum dan tata kelola energi nasional Indonesia kembali terkuak lewat kasus korupsi yang melibatkan PT. Pertamina dan anak usahanya, PT. Pertamina Patra Niaga. Kenyataannya, terdapat pola penanganan yang tertutup, tidak konsisten, dan rentan diintervensi oleh mereka yang berkuasa dalam sistem hukum yang seharusnya menjamin keadilan dan transparansi. Minimnya investigasi publik terhadap kasus-kasus yang berdampak langsung pada pengelolaan sumber daya negara dan bernilai triliunan rupiah. Dari sudut pandang sosiologi hukum, hal ini tidak dapat dilepaskan dari tiga persoalan mendasar: dampak kekuasaan terhadap hukum, buruknya budaya hukum di masyarakat, dan belum tuntasnya independensi lembaga hukum. Hukum sering kali mengikuti kepentingan politik atau bisnis yang berlaku alih-alih bertindak sebagai lembaga yang imparsial. Lebih parah lagi, masyarakat yang seharusnya bertugas mengatur tatanan sosial justru semakin tunduk. Ketiadaan tekanan publik menyebabkan sistem hukum kehilangan daya dorongnya dan akhirnya terjerumus ke dalam prosedur birokrasi yang gagal memberikan keadilan yang berarti. Kasus Patra Niaga harus menjadi peringatan bahwa korupsi di industri energi tidak hanya berdampak negatif terhadap keuangan negara, tetapi juga merusak tata kelola sumber daya, mengikis kepercayaan publik, dan menciptakan preseden hukum yang negatif. Oleh karena itu, diperlukan: keterbukaan penuh dalam cara penegak hukum menangani kasus, peran proaktif media dan masyarakat dalam mempromosikan dan mengawal kasus ini.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button