La Borombonga dan Korupsi 271 Triliun. La Borombonga. Dulu namanya kerap jadi didakwa, manakala ada yang tewas mengenaskan di hutan jazirah Muna. Di waktu kecil medio 90an saya sempat tinggal di pedesaan. Ketika berada di hutan, saking menakutkannya, namanya tidak boleh disebut seperti Voldemort di serial Harry Potter.
La Borombonga dan Korupsi 271 Triliun: Peran Mitos dalam Menjaga Keseimbangan Alam
Gergasi ini menjadi momok, saat mencari kayu bakar di hutan bersama kakak saya. Seperti dihantui rasa cemas, agar tidak berlama-lama di hutan. Tidak membuat perapian sembarangan. Ia memakan api dan memangsa manusia yang membuat perapian sembarangan. Seolah melindungi hutan dari eksploitasi yang didasarkan keserakahan.
Sekilas nampak mirip. Di hutan hujan Amazon, hidup mitologi Curupira. Mahluk berambut api dengan kaki terbalik. Disebut pelindung hutan. Ia suka berjalan dengan binatang, notabene tidak suka pada kehadiran manusia. Di berbagai daerah lain, banyak sosok menyeramkan seperti itu. Sebuah mahluk yang hidup dalam tradisi lisan masyarakat. Yang jika direnungi, tujuannya adalah preventif seperti dalam hukum pidana, yakni menakuti orang untuk berbuat seenaknya (di hutan).
Baca Juga : Nama Orang di Muna
Begitulah. Tatanan manusia tradisional hidup dengan keanekaragaman logika mistik. Yang oleh paham modernisme dianggap sebagai penghambat kemajuan. Wajarlah dalam khazanah sosiologi dikatakan bahwa masyarakat agraris adalah masyarakat yang paling lambat dalam menerima kemajuan iptek.
Modernisme menggerus sosok La Borombonga. Eksistensinya dipertanyakan. Saat deru gergaji mesin melahap pohon tua, membotakkan hutan, La Borombonga tak kunjung muncul. Hewan-hewan menangis, rumahnya hilang. Keseimbangan ekosistem dilabrak oleh misi ekonomi. Hutan tak lagi keramat. Malah jadi seksi di mata investor kayu, berikut selingkuhannya pemegang kebijakan, pengawasnya dari aparat segala macam warna berhias gagahnya lambang.
La Borombonga dan Korupsi 271 Triliun: Dampak Kebijakan Politik pada Eksploitasi Hutan
Secara sistematis, ini terkait dengan kebijakan politik dan hukum kita. La Borombonga kabur pasca kebijakan eksploitasi hutan di Muna digelar. Industri hidup, deforestisasi melaju. Yang makmur cuma sebagian. Di era UU Ciptaker, kebijakan politik memberi andil besar kepada para cukong untuk mengeksploitasi alam. Cuan, cuan dan cuan adalah tujuannya. Hutan pun yang dilindungi masyarakat adat tetap dibulldozer, dikeruk, dihabisi atas nama legalitas kebijakan. Dijaga aparat rupa bersenjata.
Persetan dengan keanekaragaman hayati. Sungai menguning, bahkan beracun. Banjir jadi langganan warga, ironis, solusinya hanya satu dus mie instant dan sekarung beras. Warga menangis mengatakan itu kebaikan. Yang membuat masalah adalah yang kaya, yakni cukongnya, yang back up dari aparat serta pemegang kebijakannya.
Tata Kelola Pertambangan Mengandung Keserakahan
La Borombonga dan Korupsi 271 Triliun. Sulit untuk membedakan, yang mana yang mengawasi, yang mana yang turut bermain. Tata kelola pertambangan memang mengandung keserakahan yang buas tiada tanding. Wajar bila terjadi kerugian negara (materil dan imateril) mencapai 271 Triliun.
Baca Juga : Memaknai Wambano Toba, Tradisi Muna Mencegah Korupsi Sejak Dini
Pemain-pemain tambang dan kroni-kroninya ini bukan profesi yang memalukan. Hal yang menjijikan adalah mereka dianggap memiliki prestise. Dicium tangannya oleh pejabat, dijilat kakinya oleh aparat dan akademisi pelacur. Di elu-elukan sebagai mahluk dermawan untuk dipuja. Bisnis eksploitatif alam cenderung aman. Wajar banyak imvestor masuk. Kalau ada demo tinggal bayar. Kalau ada pemeriksaan tinggal bayar. Kalau terancam dihukum tinggal bayar. Bukan rahasia, jika di negeri ini semua haus akan bayaran.
Refleksi atas Peran Manusia dalam Merusak Alam
Korupsi 271 Triliun adalah sebuah kulminasi dari masifnya korupsi pertambangan di negeri ini. Sebuah noda kelam dari Pasal 33 ayat 3 di Konstitusi kita. Yang menguasai justru yang menikmati. Bagaimana mungkin hanya sekelompok perampok yang bisa menikmati kayanya alam Indonesia. Dunia modern memandang alam sebagai obyek eksploitasi. Waktu merekam alam Nusantara berada dalam robohnya spiritualitas oleh terjangan Korupsi Pertambangan, yang hanya sesekali terjamah hukum. Hukum yang gampang sekali dipermainkan.
Tan Malaka pernah berkata, bahwa yang menghambat kemajuan bangsa Indonesia adalah logika mistika, yakni kepercayaan tradisionil yang menganggap bahwa segala sesuatu disebabkan oleh pengaruh roh atau hal-hal gaib. Termaksud perihal La Borombonga yang menjaga hutan kita.
Bagi saya dia salah. Justru itulah yang menjaga kita. Orang-orang tua kita dulu hidup dalam spiritualitas yang menjaga keseimbangan alam. Tidak menganggap alam sebagai obyek eksploitasi melainkan sesama mahluk yang harus dijaga dan dihormati. Berikut ragam ritual untuk memberi dan menghargai mereka.
Kemajuan bangsa Indonesia bukan karena kecerdasan manusianya. Tapi bagaimana kebijaksanaan hidup di segala aspek kehidupan. Toh jaman AI mengobral kepintaran dalam mesin-mesin sekecil-kecilnya. Tapi tetap menimbulkan banyak masalah baru, kejahatan semakin berkembang. Begitulah, kepintaran tanpa kebijaksanaan adalah ancaman kehidupan.
Manusia sangat pintar dalam membuat mesin-mesin untuk mengeruk alam. Manusia sangat jeli membuat hukum yang ketika dibaca bagaikan memberi perlindungan pada alam. Tapi, toh semua selalu dijalankan atas misi keserakahan. Alam dikeruk, hukum diperjualbelikan.
Malulah kita kepada siapa yang menciptakan La Borombonga. Perangainya monster menakutkan terlihat bodoh tapi fungsinya adalah mengontrol keserakahan manusia pada alam. Jauh lebih pintar, ganteng dan cantiknya mereka yang bermufakat menghasilkan korupsi 271 Triliun dengan segala kerusakan alam.