LGBT Menurut Perspektif Hukum dan Ilmu Kedokteran
Oleh: dr LM Yakdatamare Yakub
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Dan (Kami juga telah mengutus Nabi) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan yang sangat hina itu, yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian? [Al-A’raaf: 80].
Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampaui batas [Al-A’raaf: 81.
(Nabi) Luth berdoa: “Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan adzab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu. Dan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk negeri (Sodom) ini; sesungguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zhalim [Al-‘Ankabuut: 30-31].
Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit. Maka Kami jadikan bagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda [Al-Hijr: 73-75].
Homoseksualitas dan heteroseksualitas adalah salah satu bentuk kriminal [Al-A’raaf: 80] yang paling berat dan termasuk dosa yang paling menjijikkan serta salah satu dosa besar, sehingga Allah pun menyiksa pelakunya dengan siksaan yang tidak ditimpakan kepada umat manapun.
Perilaku tersebut menyimpang dari fitrah manusia, menunjukkan ketidak beresan akal pelakunya, lemahnya keimanannya dan dimurkai oleh Rabbul ‘alamin.
Sejarah & Perspektif Kedokteran
Sejarah telah mendokumentasikan historis perilaku homoseksual dan heteroseksual dari zaman Nabi Luth AS dan terlacak sampai ke mesir kuno, afrika, amerika, asia timur, eropa, timur tengah, asia tengah, asia selatan bahkan sampai ke kepulauan pasifik. Perilaku tercela ini bukan lagi hal yang baru dan terus terjadi pro dan kontra bahkan dikalangan para tokoh dan filsuf dunia pun masih mempersoalkan perilaku ini apakah merupakan suatu keharusan.
Bahkan Aristoteles pernah menolak ide-ide Plato tentang penghapusan homoseksualitas, Ia menjelaskan bahwa kaum barbar seperti bangsa Kelt menempatkan kalangan homoseksual secara terhormat, sedangkan bangsa Kreta menggunakan homoseksualitas sebagai alat untuk mengatur populasi. Artinya bahwa Aristoteles beranggapan bahwa homoseksualitas ini tidak boleh dianggap sebelah mata sebagai hal yang hina, tetapi punya makna tertentu untuk kaum tertentu.
Edward Gibbon seorang sejarawan inggris dalam bukunya yang berjudul historis dan jatuhnya kerajaan romawi 1776, mencatat bahwa dari lima belas kaisar Roma pertama, Claudius adalah satu-satunya yang jatuh cinta dengan benar dan dikatakan bahwa Yulius Caesar, pada usia dua puluh tahun, berselingkuh dengan Raja Nicomedes dari Bitinia.
Bahkan seorang lawan politiknya pernah berkata,“Dia adalah pria yang diidamkan setiap wanita dan wanita yang diidamkan pria”. Bukan saja Yulius Caesar, penguasa di belahan dunia lain, sampai di asia juga mengalami kelainan disorientasi seksual tersebut, dan anehnya kelainan tersebut selalu identik dengan kekuasaan dan kemewahan, Wallahu a’lam bish-shawab.
Tahun 1950-an dan 1960-an, menjadi masa yang tidak menyenangkan bagi kaum homoseksual di Eropa, Australia, atau Amerika Serikat. Pada tahun tersebut, berbagai lembaga psikiater masih mengelompokkan ketertarikan dengan sesama jenis sebagai suatu gangguan kejiwaan.
Pada 1968, Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) mengkategorikan atau memasukkan homoseksual ke Panduan Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental atau yang biasa disebut dengan Diagnostic and Statistical Manual for mental disorder (DSM), yang menjadi acuan medis dalam mendiagnosis bahwa LGBT adalah suatu penyakit kejiwaan.
Pada tahun 1960-an kaum homoseksual sering mendapatkan metode penyembuhan yang brutal. Biasanya, mereka dipaksa telanjang dan melihat foto laki-laki sambil disetrum. Namun, metode tersebut dianggap gagal karena rata-rata hasilnya nihil.
Tidak sedikit para pelaku homoseksualitas dan sejenisnya sering mendapatkan intimidasi dan diskriminasi dari pemerintah maupun masyarakat, dan tahun tersebut merupakan tahun-tahun yang begitu kelam untuk mereka yang mederita homoseksualitas dan sejenisnya.
Kemudian pada tahun 1970, berlandaskan atas keresahan kaum pelangi atau homosesksual dan sejenisnya tersebut, maka kaum homoseksual Amerika Serikat mengadakan unjuk rasa dan menyerbu konferensi APA untuk menyampaikan aspirasinya. Mereka menganggap bahwa memasukkan homoseksual sebagai gangguan kejiwaan tidak selaras dengan definisi mendasar penyakit mental.
Dan hal tersebut didukung oleh Robert L. Spitzer seorang ilmuan dan dokter senior yang melahirkan buku-buku dan pedoman dalam mendiagnosis penyakit kejiwaan, dia beranggpan bahwa tidak relevan kalau dikatan sebagai penyakit gangguan jiwa, lebih tepatnya ganguan orientasi seksual.
Sehingga berdasarkan latar pemikiran yang sama pada waktu itu maka lahirlah gerakkan-gerakkan seperti gerakkan pembebasan gay (1969-1974) yang kemudian memicu lahirnya lagi gerakkan-gerakkan seperti Front Pembebasan Gay (Gay Liberation Front / GLF) dan Aliansi Aktivis Gay (GAA).
Lantas dampak dari aksi kaum homoseksual tersebut terus berlanjut di tingkat lokal maupun nasional. Sehingga membuat APA melakukan berbagai macam penelitian terkait homoseksualitas, maka setelah melakukan berbagai penelitian dan merundingkannya dengan para ahli, akhirnya pada 17 Desember 1973 APA dibawah kepemimpinan presiden APA terpilih tahun 1973-1974 Alfred Mordecai Freedman setuju mencoret homoseksual dari penyakit kejiwaan serta melanggengkan untuk dicabutnya undang-undang anti homoseksualitas atau disorientasi seksualitas.
Mengapa dicoret dan dihapuskan? para ahli ilmu kedokteran barat saat itu dan bahkan sampai saat ini belum dapat membuktikan bahwa homoseksual dan heteroseksual adalah suatu penyakit yang diakibatkan karena gangguan secara seluler maupun molekuler, lantas apa benar demikian? dan apakah hanya sebatas itu dalam menyimpulkannya? apakah tidak dipertimbangkan dampak dan faktor lain yang akan terjadi kepada orang banyak?.
Mengutip media internasional tahun 1972, menyatakan bahwa Swedia menjadi negara pertama di dunia yang mengizinkan orang-orang transeksual dengan undang-undang memperbolehkan untuk mengubah jenis kelamin mereka dan memberikan terapi penggantian hormon secara gratis.
Lantas kalau ini benar merupakan suatu fitrah yang ada sejak lahir mengapa harus ada terapi hormon lagi? terapi hormon untuk apa lagi? terapi hormon untuk mempertegas kelainan orientasi seksualitas maupun identitas seksualnya? lantas sekali lagi saya pertegas benar ini semua hanya akal-akalan saja untuk memuluskan tujuan pelangi atau kaum homoseksual dan heteroseksual tersebut? Data menurut UNAIDS (United Nations Programme On HIV & AIDS) 2019, menyatakan bahwa paling tinggi angka penularan HIV berasal dari lelaki seks lelaki dan transgender.
Apakah ini suatu kebodohan mengapa banyak yang tidak menyadari, ataukah hal tersebut adalah suatu konspirasi untuk memuluskan tujuan pelangi atau kaum homoseksual dan heteroseksual tersebut.
Atau apakah para pemangku kebijakan sengaja menutup mata dan telinga atau mata dan telinganya yang ditutup-tutupi? dan lebih bobroknya lagiperilaku menyimpang ini selalu berlindung di belakang HAM (Hak Asasi Manusia) lantas HAM inipun disalah artikan pula sebagai senjata pelindung, Wallahu a’lam bish-shawab.
LGBT di Indonesia Abigail salah satu peneliti kelahiran Indonesia tentang homoseksual dan heteroseksual dalam bukunya The Formation of National Network of Gay. Men, Transgender (2012), menyebutkan bahwa di Indonesia sendiri fenomena tersebut bukanlah hal baru, ada beberapa literatur yang menyebutkan bahwa adanya sejak tahun 1920-an.
Namun pendapat paling banyak menyebutkan bahwa fenomena homoseksual dan heteroseksual di Indonesia dimulai pada dekade 1960-an, dan berkembang pada tahun 1980-an, tahun 1990-an, dan meledak di tahun 2000-an, sampai sekarang, Kalau dulu terkenal Sentul dan Kantil, kini sebutannya adalah Buci dan Femme.
Di Makassar sebenarnya mereka mengenal 5 jenis gender, ada laki-laki, ada perempuan, calalai, calabai, dan bisu. Calalai dan calabai ini merupakan transgender, jadi calalai ini yang merupakan laki-laki tapi berdandan seperti perempuan, sementara calabai perempuan berdandan seperti laki-laki, dan bisu itu sendiri bisa jadi calalai ataupun calabai.
Tapi dia yang memiliki kedudukan tertinggi, bisu memiliki kekuatan khusus dan terpilih secara khusus juga, seperti mendapatkan wangsit. Bahkan bisu ini merupakan tangan kanan para pemimpin daerah di masyarakat.
Entah apakah karena kepentingan politik gender atau ada maksud tertentu sehingga beberapa pemimpin di makassar selalu menempatkan bisu ini pada posisi tertentu.
Masyarakat di Makassar lebih mengerti calalai, calabai dan bisu ketimbang lesbian, gay, transgender. Sedangkan Kalau di Kabupaten Muna lebih mengenal LGBT ini dengan sebutan lengke, Hombreng atau homo brengsek, dan Basler atau banci slebor.
Entah kapan kodifikasi penyebutan tersebut ada, tapi sudah menjadi kebiasaan masyarakat muna dalam menyebutkannya, hehehe… Amelia Abraham, seorang penulis buku berjudul Queer Intentions: A (Personal) Journey Through LGBTQ+ Culture, (2010).
Menyebutkan bahwa awal mula organisasi dan advokasi LGBT di Indonesia diawali dengan berdirinya organisasi seperti Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) dan Wanita Adam (WADAM). Kemudian pada tahun 1982, penganut homoseksual di Indonesia mendirikan Lambda Indonesia dan pada tahun 1986 berdiri Persatuan Lesbian Indonesia.
Pada tahun yang sama, berdiri juga kelompok kerja Lesbian dan Gay Nusantara (GAYa Nusantara). Era 1990-an semakin banyak organisasi LGBT yang berdiri. Organisasi yang berkedok emansipasi, khususnya emansipasi wanita. Mereka juga membangun media sebagai sarana publikasi.
Ada beberapa media yang didirikan sebagai wadah komunikasi antar LGBT. Pada tahun 1998, sudah memasuki era reformasi, LGBT mendapatkan momentumnya. Organisasi-organisasi LGBT semakin berani untuk menyuarakan suaranya.
Berdasarkan data dari dialog laporan yang bertajuk “hidup sebagai LGBT di Asia” terdapat beberapa kongres lanjutan tingkat internasional. Perkembangan yang drastis organisasi-organisasi LGBT di Indonesia memanfaatkan gejolak yang tengah terjadi pada sistem politik dan pemerintahan untuk terus melebarkan sayapnya.
Dikutip dari media Plush.or.id tahun 2009, Komunitas gay pertama yang muncul di Indonesia bernama organisasi gay terbuka. Setelah itu banyak pula muncul organisasi-organisasi lainnya, seperti: GAYa Nusantara (GN) yang ada di Surabaya, Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY), dan Indonesia Gay Society (IGS).
Dan muncul komunitas baru yang bernama HIMAG atau “Himpunan Mahasiswa Gay”. HIMAG muncul pertama kali di universitas negeri terbesar di Yogyakarta pada tahun 2011. Setelahnya disusul setahun kemudian muncul di universitas negeri lainnya di Yogyakarta pada tahun 2012.
HIMAG memiliki anggota yang anggotanya tersebar diberbagai fakultas dan jurusan. Menurut survey CIA (Central Intelligence Agency) Indonesia merupakan negara dengan jumlah populasi penganut LGBT ke-5 terbesar didunia setelah Tiongkok, India, Eropa, dan Amerika.
Hal ini merupakan konsekuensi dari besar dan padatnya jumlah penduduk Indonesia. Karena (menurut para peneliti) munculnya LGBT adalah secara alamiah, kecuali di Eropa dan Amerika yang didukung dengan keinginan para penganut LGBT di Eropa dan Amerika untuk mandapatkan kebebasan dalam segala hal, dan ditamnah dengan kebebasan media dalam menyiarkan hal-hal mengenai LGBT dan itu memicu perkembangan orientasi seksual dengan sangat cepat.
LGBT Perspektif Hukum & HAM Indonesia Apakah kita masih mau menutup mata ? LGBT ini adalah penyakit dan menular, Indonesia yang merupakan negara yang agamanya tergolong majemuk masih dikategorikan gagal dalam menangai fenomena LGBT ini, bahkan gerakkan LGBT ini telah berani memasuki ranah pendidikan mulai dari mahasiswa dan tenaga pendidiknya.
Harusnya hal-hal seperti ini yang perlu ditekankan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru saja di sahkan di sidang paripurna DPR RI tahun 2022, karena bahkan ranah agamapun sudah dianggap gagal dalam membendung lonjakan penyakit yang melahirkan kaum LGBT ini.
Ataukah justru para pemangku kebijakkan sepemahaman dengan kaum LGBT ini?. Bahkan hukum negara Indonesia yang mengatur terkait LGBT masih dianggap rancu dan tidak kuat dalam memberikan kepastian hukum atau keadilan itu sendiri. Harusnya pemerintah dapat mengambil Langkah tegas, berani dan terukur untuk menghapuskan LGBT ini dari Indonesia.
Presiden Vladimir Putin baru saja mengesahkan RUU anti-LGBT dimana Rusia melarang semua bentuk propaganda LGBT, mulai dari tindakan hingga kampanye di publik, internet, film, buku, atau iklan. Aturan ini dianggap memperluas cakupan aturan anti-LGBT Rusia yang sebelumnya sebatas melarang keras praktik LGBT di hadapan anak-anak.
Rusia memang belakangan ini ingin kembali memperkuat apa yang mereka sebut sebagai nilai-nilai “tradisional” negara itu. Lantas bagaimana dengan Indonesia? negara yang dikenal dengan keberagaman, majemuk dan plural akan budaya dan agamanya? apakah tinggal diam melihat lonjakan kaum LGBT di Indonesia yang terus meningkat?
Dan dengan sebab akibat dari dampak yang dilahirkan kaum tersebut? harusnya pemerintah mulai mengambil langkah tegas, terukur dan berani, untuk menyelesaikan persoalan LGBT di tanah air.
Sungguh dzalim negara ini apabila tidak segera memblok laju perkembangan LGBT di Indonesia, apakah harus menunggu azab Allah SWT, seperti azab yang diturunkan untuk kaum Sodom terlebih dahulu baru mau sadar dan bertindak cepat? Berdasarkan website resmi BPHN dalam draft final RUU KUHP Indonesia yang baru saja disahkan dalam sidang paripurna ke-11 DPR RI tahun 2022 tepatnya pada pasal 418-422 tentang perbuatan cabul baik dengan lawan jenis bahkan sesama jenis hanya terbatas menghukum atau mengadili pelaku cabul secara paksa dan dengan iming-iming tertentu dan terbatas hanya pada rentang usia anak dan bukan anak.
Tetapi tidak ada aturan tertentu yang mengharuskan agar LGBT ini betul-betul di hapuskan dari Indonesia, lagi-lagi persolan HAM yang merugikan HAM orang lain. Perlu dipahami Bersama bahwa tiga tujuan hukum, kepastian, ketertiban, dan asas manfaat. Lantas apakah tujuan hukum tersebut hanya dimaknai untuk kaum tertentu atau untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Menurut Prof. Koentjoro Poerbo Pranoto(1976), hak asasi manusia adalah hak yang bersifat asasi. Artinya, hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga bersifat suci.
Menurut Prof. Darji Darmodiharjo, S. H. mengatakan : hak – hak asasi manusia adalah dasar atau hak – hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugrah tuhan yang maha esa. Hak – hak asasi itu menjadi dasr dari hak dan kewajiban – kewajiban yang lain. Menurut Jack Donnely, mendefinisikan hak asasi tidak jauh berbeda dengan pengertian di atas.
Hak asasi adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia dan hak itu merupakan pemberian dari tuhan yang maha esa.
Definisi HAM menurut para ahli diatas bermakna bahwa hakikatnya HAM itu tidak boleh bertentangan dengan fitrah seorang manusia, lantas LGBT apakah bagian dari fitrah manusia? LGBT juga diartikan penyimpangan kodrat dan fitrah manusia. Manusia sejatinya diciptakan dalam dua jenis untuk berpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan.
Konsepsi ini telah ada dan telah dijelaskan dalam agama manapun dan di Indonesia sendiri diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan pada Pasal 1 menyatakan hanya antara laki-laki dan perempuan, yang secara tidak langsung perkawinan sejenis bertentangan dengan hukum Indonesia.
Sa science et sa conscience / ilmunya dan hati nuraninya Deminimis noncurat lex / hukum tidak mencampuri hal-hal yang sepele Res ipsa liquitar / faktanya telah berbicara Wabillahi taufik wal hidayah wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.