Katanya La Ege

Mati Muda di 16 Desember

Oleh: La Ode Muhram Naadu

Belajar adalah perihal membaca. Bukan saja apa yang tertera nan skriptualistik. Tapi lebih menyelami kerigidan semesta – yang tak tertulis.

Mendaki adalah salah satu upaya meraih yang tak tertulis itu. Yah, cara ini bisa mewujudkan konsepsi Tafakur yang dimaksud oleh Imam Al Ghazali. Banyak bacaan yang justru tak tertulis dan terdapat tanda-tanda kebesaran Sang Pencipta.

Bagi Gie, mendaki adalah cara mengenali negeri ini dengan hatinya. Nasionalisme dipijak dari itu. Bukan dari hipokrisi, slogan, lagu-laguan. Atau bahkan kuis berhadiah sepeda.

Gunung. Resah-desah hasil abstraksinya kerap ia tuliskan disana. Ia punya tempat favorit untuk itu, seperti di Gunung Pangrango.

Gie, ketika ditanya apa tujuan mendaki, ia menjawab untuk pulang. Artinya, adalah safety first. Ia bukan pendaki konyol bin nafsu, yang demi instragamable rela jadi tukang nyampah.

Dengan mendaki ia melatih otak dan ototnya. Bukan untuk caption medsos, atau menggalau ala anak senja. Tapi meresapi buku-buku, menyehatkan tubuh. Begitulah salah satu cara ia melatih diri. Walt Whitman bahkan mengakui bahwa rahasia kepemimpinan terlatih dengan cara berkegiatan di alam bebas. Sebuah bangsa tidak akan kurang generasi pemimpinnya dengan cara itu.

Hasilnya, kemerdekaan berpikir Gie toh juara. Ia garang dan bengis pada ketidakadilan. Namun melankolis soal cinta. Tak heran, banyak mahasiswi yang klepek-klepek dibuatnya. Meskipun ia pemalu soal wanita.

Pilihan hidupnya adalah jalan sunyi. Jauh dari demagogis. Meskipun demikian, ia hidup di atas prinsipnya. Idealismenya memang juara. Itu yang hilang dari kepemudaan hari ini.

Dalam Catatan Seorang Demonstran, Gie kurang lebih menulis seperti ini :

“Realitas – realitas baru inilah yang menghadapi pemuda-pemuda Indonesia yang penuh dengan idealisme. Dia hanya punya dua pilihan.

Yang pertama, tetap bertahan dengan cita-cita idealisme. Menjadi manusia-manusia yang non-kompromistis. Orang-orang dengan aneh dan kasihan akan melihat mereka sambil geleng-geleng kepala. “Dia pandai dan jujur, tetapi sayangnya kakinya tidak menginjak tanah.

“Atau… dia kompromi dengan situasi yang baru. Lupakan idealisme dan ikut arus. Bergabunglah dengan grup yang kuat dan belajarlah teknik memfitnah dan menjilat. Karir hidup akan cepat menanjak. Atau kalau mau lebih aman kerjalah di sebuah perusahaan yang bisa memberikan sebuah rumah kecil, sebuah mobil atau jaminan-jaminan lain dan belajarlah patuh dengan atasan. Kemudian carilah istri yang manis. Kehidupan selesai.”

Catatan Gie mungkin usang dalam kertas. Selulosa tak berumur panjang seperti pemikiran. Pemikiran Gie itulah yang abadi. Setiap zaman bisa jadi bahan refleksi. Mau dibawa kemana kepemudaan hari ini.

Tapi, inspirasinya toh memudar. Paling jauh pemuda kekinian hanya kenal dengan artis K-Pop. Atau influencer youtuber yang bergelimang dividen profit dari karya recehan. Sedih. Tapi itu kenyataannya.

Jika proyeksi film dan buku negeri ini memperlakukannya layaknya Dilan, mungkin dunia per-story-an instagram – fesbuk twitter dan media sosial lainnya tidak semenjijikan hari ini. Pemuda kita lebih sibuk berorientasi jadi viral, atau berjoget tiktok, dan yang intelek pun mentok jadi buzzer. Berstruktur menjilat kekuasaan.

Sayang sekali, sosoknya terbredel. Ia tenggelam cukup lama dalam kepustakaan eksklusif kaum kiri. Itupun tak semua kaum kiri. Sebagaimana kini jarang yang ideologis. Banyakan songong modal ikut kongres. Ujung-ujungnya minta suapan sama senior yang lebih dulu diikat lehernya oleh posisi komisaris atau staf ahli.

Memang sulit menjadi Gie di zaman ini. Fetitisme terhadap materi terlalu kuasa. Hal-hal yang ideologis pun hanya jadi komoditas belaka.

Gie menulis dengan sadis. Ia kritis berbobot. Tak menonjolkan pernak-pernik simbol organisasinya (mapala). Tapi melantang atas nama ia adanya.

Dijamannya ia mencolok jauh dibanding kader lembaga onderbouw dan sejenisnya. Terkenal mandiri, idealis. Tak bermental proposal – ngemis sama senior.

Tapi sayang, ia mati muda. Meski mungkin bahagia untuknya atas itu. Sebab ia pernah mengutiptulisnya dari Filsuf Stoa, Seneca. Berbahagialah yang mati muda.

Namun, kadang ia dituduh fatalisme karena hal itu. Terlebih ia penyuka Joan Baez. Padahal bagi saya, itu soal yang filantropis. Atas pemahamannya terhadap sejarah dipelbagai dunia. Yang tak lepas dari pengkhianatan nan penderitaan.

Memang, Gie telah lama pergi di Mahameru. Tepat di 16 Desember 1969. Namun, apa yang ia ucap, tulis dan tuntunkan tetap hidup. Meski hanya dalam karya. Dalam pemikiran. Terjejak darinya perihal intelektualisme, advokasi dan gerakan.

Tulisan ini adalah romansa, upaya menjejak inspirasi. Gie bagaimanapun adalah role model pemuda intelektual. Bukan dikenal kapitalistik lantas dipatronisasi, diorbit pakai uang negara, jadi staf atau apalah-apalah itu. Tcuuih.

Ia berdiri lantang tanpa penghias dada. Tanpa embel-embel mahkota kehormatan di kepala, atau simbolitas intelektual yang munafik – yang menyembunyikan kebodohan dan keculasan intelektual.

Dengan kesendirian itu ia kuat. Apa adanya ia indah. Merdeka, lantang dan bernas.

Gie, terbanglah selalu.. seperti dalam Donna Donna oleh Joan Baez.. like the swallow so proud and free..

LMN

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button