Memaknai Wambano Toba, Tradisi Muna Mencegah Korupsi Sejak Dini
Oleh: Sitti Fatimah, S.Pd.,M.A.
Harapan untuk Indonesia yang bebas dari korupsi tampaknya masih jauh panggang dari api. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani 91 kasus di seluruh Indonesia pada tahun 2020 dan meningkat 108 kasus pada tahun 2021.
Jumlah itu adalah kasus korupsi yang sempat ditangani oleh KPK, belum terhitung korupsi (pungli, suap, gratifikasi) yang tidak terendus oleh KPK maupun kepolisian namun marak terjadi.
Selain itu, sering juga kita melihat tidak sedikit KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap sejumlah pejabat publik di negeri ini. Hal ini ternyata sejalan dengan Penilaian Indeks Persepsi Korupsi 2021 oleh Transparency International yang mencatat Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 180 negara.
Berdasarkan data tersebut, korupsi di Indonesia berada pada kondisi yang mencemaskan. Sebelum lebih cemas pada keadaan korupsi Indonesia, ada baiknya untuk mengetahui korupsi dan bentuknya.
Korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan/wewenang dengan tujuan memperkaya diri, keluarga, atau orang lain. Menurut UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi diklasifikasikan ke dalam: merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan dalam pengadaan, gratifikasi.
Sehingga, korupsi tidak boleh hanya dimaknai sebagai penggelapan uang Negara. Saat pelaku korupsi melakukan korupsi, tentu ada motif atau penyebab ia melakukan perbuatannya itu. Menurut Jack Bologne dalam Teori Gone (G-O-N-E) menjelaskan bahwa faktor-fakor yang menyebabkan terjadinya kecurangan meliputi Greeds (Keserakahan), Opportunities (Kesempatan), Needs (Kebutuhan) dan Exposures (Pengungkapan).
Keserakahan pada dasarnya dimiliki oleh setiap individu, tergantung bagaimana ia mengontrol sifat tersebut. Bagi bersyukur dengan apa yang dimiliki, maka ia akan merasa cukup, sedangkan yang selalu mengingikan lebih akan mendorong ia untuk mendapatkan lebih dengan berbagai cara.
Faktor kesempatan berkaitan dengan organisasi, instansi atau masyarakat yang memungkinkan individu/kelompok untuk melakukan korupsi. Faktor kebutuhan berkaitan erat dengan kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki oleh individu untuk menjalani hidupnya dengan nyaman.
Banyaknya kebutuhan terkadang tidak sebanding dengan penghasilan/gaji yang dimiliki sehingga memungkinkan individu untuk melakukan korupsi untuk memenuhi kebutuhannya. Faktor pengungkapan berhubungan dengan konsekuensi yang dihadapi individu setelah diketahui melakukan tindakan korupsi.
Jika pelaku korupsi ditindak dengan tegas, maka akan menimbulkan efek jera dan akan menurunkan tingkat korupsi dan begitu pula sebaliknya. Tidak dapat dipungkiri bahwa, satu orang yang melakukan korupsi akan memberi dampak kepada banyak orang, dan dampak yang ditimbulkan selalu negatif. Beberapa dampak negative dari korupsi:
Pertama, terjadinya degradasi moral.
Pelaku korupsi tidak merasa bersalah telah melakukan korupsi dan merasa baik-baik saja setelah mengambil sesuatu yang bukan miliknya.
Kedua, korupsi menyebabkan pelayanan publik tidak efektif dan efisien.
Praktik pungli, suap dan gratifikasi meyebabkan pelayanan publik menjadi sulit untuk diakses oleh masyarakat.
Ketiga, korupsi dapat menggagalkan berbagai rencana pembangunan di berbagai bidang dan infrastruktur.
Sebagai contoh mega proyek Wisma Atlet Hambalang yang telah menelan dana triliunan rupiah dihentikan karena korupsi, sehingga gedung-gedung yang hampir jadi dibiarkan begitu saja.
Keempat, korupsi juga berdampak pada kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan supremasi hukum bahkan menciptakan iklim ketidakpastian hukum.
Tidak sedikit kasus suap kepada jaksa dan hakim membuat hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kelima, korupsi dapat meningkatkan kasus kriminalitas. Korupsi memperlebar gap antara yang miskin dan yang kaya sehingga yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, hal ini memungkinkan yang miskin untuk melakukan tindakan kriminalitas.
Sehingga tidak berlebihan jika Sekjen PBB Kofi Annan (2004) mengatakan bahwa: korupsi yang sangat luas di masyarakat. Korupsi merusak demokrasi dan supremasi hukum, mendorong pelanggaran terhadap hak azasi manusia, mendistorsi perekonomian, menurunkan kualitas kehidupan dan memungkinkan organisasi criminal, terorisme dan berbagai ancaman terhadap keamanan untuk berkembang.
Karena masifnya dampak korupsi ini, maka tidak heran jika semua bangsa di dunia melakukan perlawanan terhadap korupsi, tidak terkecuali Indonesia. Pemberantasan terhadap korupsi telah dilakukan dalam berbagai cara pada berbagai era kepemimpinan.
Salah satu upaya untuk memberantas korupsi dapat dimulai dengan pencegahan korupsi sejak dini dengan menanamkan nilai-nilai kearifan local bangsa yang dapat membentuk karakter mulia dan penuh integritas.
Nilai-nilai pendidikan anti korupsi yang melekat pada tradisi suku bangsa ini dapat diangkat sebagai upaya untuk mencegah korupsi.
Salah satu tradisi yang dapat dijadikan upaya mencegah korupsi adalah tradisi katoba yang merupakan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat etnis Muna.
Tradisi katoba berarti “proses pengislaman.” Tradisi katoba merupakan penanaman nilai-nilai moralitas budaya Muna yang selaras dengan ajaran islam. Proses pelaksanaan katoba dilakukan dengan memberikan nasehat-nasehat pembentuk karakter kepada anak-anak menjelang baligh.
Nasehat-nasehat ini disebut dengan wambano toba (nasehat toba) yang disampaikan oleh imam dan diiyakan oleh anak yang di- katoba. Terdapat empat nasehat utama dalam tradisi katoba yang salah satunya adalah hakunahasi (hak nahas/hak orang lain).
Dalam nasehat toba yang keempat itu, dikatakan bahwa ada hakunahasi (hak nahas) yang merupakan hak milik orang lain yang tidak boleh kita pikirkan. Hal ini berarti kita harus mengendalikan pikiran kita untuk tidak berusaha memiliki sesuatu yang bukan menjadi hak kita.
Nasehat toba menyampaikan bahwa barang milik orang lain mulai dari yang besar seperti emas, intan, uang dan yang kecil seperti sebatang jarum, sepotong sirih, dan sebuah pinang bahkan barang yang tidak berharga sekalipun, seperti jarum patah tidak boleh diambil tanpa izin atau kerelaan dari pemiliknya.
Penyampaian nasehat toba merupakan upaya untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran dan amanah sejak dini sehingga diharapkan anak-anak akan tetap mengingat dan mengamalkan nilai-nilai ini di kemudian hari.
Menurut kepercayaan masyarakat etnis Muna yang tergambar dalam nasehat toba, terdapat konsekuensi ketika memaksakan diri untuk mengambil hakunahasi. Mengambil hakunaasi akan membawa malapetaka.
Memakan hakunahasi sama dengan memakan bara api sehingga menyebabkan berbagai macam penyakit dalam tubuh. Mengambil hakunahasi akan diganjar neraka di akhirat kelak.
Bahasa yang digunakan dalam nasehat toba pada merupakan pesan dalam bentuk larangan atau antisipasi untuk mengklaim barang yang menjadi hak orang lain yang dalam istilah lain disebut dengan korupsi. Penyampaian nasehat toba kepada anak merupakan penanaman nilai-nilai kejujuran dan amanah sejak dini.
Pesan dalam nasehat toba merupakan penanaman karakter anti korupsi yang berbasis kearifan lokal suku bangsa Muna, sehingga di kemudian hari generasi muda Indonesia khususnya generasi Muna dapat memiliki integritas dan terhindar dari perbuatan korupsi.