Muna, Kemarin, Kini dan Nanti
Tak terasa usia Kabupaten Muna mencapai 64 tahun. Bagi PNS itu telah lama pensiun. Antiklimaks produktivitas. Ibnul Jauzi, membakukan fase itu adalah masa tua. Bahkan sejatinya Rasulullah S.A.W pernah bersabda “Masa penuaian umur umatku dari 60 hingga 70 tahun”. (HR. Muslim & Nasa-i).
Benar saja, bahwa pada umur ini seorang manusia mulai banyak pantangan makan. Tenaga berkurang, apalagi penghasilan.
Bagi sebuah teritori rasa optimis toh haruslah terus digaungkan.
Muna adalah salah satu kabupaten tua di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sejak didirikan Tahun 1959 dengan 4 distrik (baca : ghoera) dan dipimpin oleh Bupati pertama La Ode Abdoel Koedoes.
64 tahun adalah fase yang cukup untuk mengguratkan pelajaran dalam torehan sejarah. Dari sana kita meramu asa dalam tindakan nyata. Memproyeksikan masa depan dengan cermat, sebagaimana Ibnu Khaldun bernasehat.
Dalam sejarah, ilmu pengetahuan membakukan The Big People Theory, yakni sejarah selalu menceritakan tokoh besar.
Inspirasi-pemikiran mereka ibarat pohon. Yang kemudian tumbuh menjalar-cabang dalam jejak-jejak peradaban. Dikembangkan dalam laku pembangunan.
Tak bisa dipungkiri, beberapa kepemimpinan Bupati pernah mengantarkan Muna memasuki fase keemasan. Ada banyak konsep futuristik yang mereka lakukan-melampaui jamannya.
Sebagai bahan refleksi, generasi hari ini perlu mengenang nan wajib belajar dari bagaimana api sejarah terbentuknya Kabupaten Muna. Bukan membangga-banggakan abu sejarahnya saja. Bahwasanya ada cucuran keringat, tetesan darah bahkan gelimpangan nyawa yang jadi sumbunya.
Fase perjuangan pasca kemerdekaan tercatat. Di masa pemerintahan Raja Muna La Ode Pandu begitu berdinamika.
Jelas terdapat jejak perjuangan pahlawan nasional di Muna. Tokoh yang terlibat adalah Idrus Effendi dkk, dalam gerakan Batalyon Sadar yang sebelumnya bernama Barisan 20.
Beberapa kali terlibat pertempuran fisik dengan Belanda. Ini sejarah kepahlawanan yang nyata. Bukan pseudohistori. Dan notabene belum ada upaya monumental dari pemerintah untuk ini. Di daerah lain, bahkan sejarah yang dimanipulasi dijaga oleh simbol fisik yang kokoh.
Penting memang mengikat semangat kolektif dalam sebuah simbolitas. Ini persoalan nirmateri yang jarang disadari. Padahal ada sifat esensial dalam pola pembangunan karakter masyarakat.
Lanjut di fase selanjutnya, lebih bercorak diplomasi. Status pembubaran anderafdeling Buton dan Laiwoi tidak lantas menaikkan status pemerintahan Muna menjadi Kewedanan.
Hal itu kemudian diperjuangkan sengit oleh beberapa tokoh masyarakat saat itu, yakni La Ode Ado, La Ode Rasyid, Supu Yusuf dlln. Di jamannya, mereka adalah diplomat ulung. Militan dan pemberani.
Banyak manufer politik yang dilakukan hingga akhirnya Kabupaten Muna resmi berdasar Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959. Ditandai dengan empat distrik, yakni Tongkuno, Kabawo, Lawa dan Katobu, dengan Ibu Kota Kabupaten di Raha. Inilah rujukan hari ulang tahun Kabupaten Muna yang kita peringati saat ini.
Bupati pertama Kabupaten Muna diangkat pada tanggal 2 Maret 1960. Ia bernama La Ode Abdoel Koedes. Bersamaan dengan itu, ditambahkan pula tiga distrik baru, yakni Kulisusu, Wakorumba, dan Tiworo.
Sebagian generasi kekinian mungkin mengenal nama La Ode Abdoel Koedes sebagai nama sebuah jalan-pendakian di daerah Labolu, dalam Kota Raha. Tak banyak yang mengetahui bahwa di masa pemerintahannya yang sesingkat satu tahun terpantik rintisan jalan dan lorong-lorong di Kota Raha.
Bagaimana dengan nama-nama pemimpin selain itu? apakah generasi hari ini mengenangnya dalam ingatan sejarah? sejauh mana mereka terinspirasi?
Merefleksi 64 tahun adalah bukan persoalan seremonial belaka. Spirit dari itu harusnya mengalir dalam laku membangun tanah yang diberkati ini.Bagaimana dengan Kabupaten Muna hari ini?
Dalam angka-angka statistik, harus diakui beberapa Kabupaten lebih muda mengungguli Muna. Seliweran potensi SDA & SDM yang tersebar di 22 Kecamatan, 26 kelurahan, 124 Desa, notabene harus terus dimaksimalkan dengan inovasi-inovasi.
Agaknya mainstream jika melihat keberhasilan dari Pembangunan fisik belaka. Indikator tersebut bukan tunggal, terlebih perlu kajian mendalam kaitannya dengan asas kemanfaatan. Yah, untuk apa gedung menjulang dibuat namun pelayanan dasar masyarakat masih bermasalah kronis.
Kenyataannya juga, pasar dan terminal tak mampu ditata untuk menyerap maksimal PAD. Pungli jadi penyakit sosial yang sulit diberantas. Daerah seperti kalah dengan premanisme. Pedagang tercekik membayar tagihan macam-macam yang bukan untuk PAD. Kenyamanan dan kebersihan seperti bahkan tak pernah diimpikan.
Tak bisa dipungkiri, persoalan kebersihan daerah mulai ada peningkatan. TPA sudah ada dengan teknologi sanitary landfill. Namun demikian armada dan honorernya masih harus membutuhkan keberpihakan politik anggaran.
Berbicara pembangunan notabene hal yang juga penting adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Berbicara IPM, ia mencakup tiga indikator, yakni pertama, umur panjang dan sehat, kedua pengetahuan dan ketiga, kehidupan yang layak.
Tiga hal tersebut memiliki pengertian yang sangat luas sehingga butuh kebijakan yang tersinkronisasi, lintas sektor, juga vertikal.
Dari tahun ke tahun, IPM kita terjadi peningkatan. Meskipun dalam tataran Sulawesi Tenggara, kita berada di posisi ke tujuh. Beberapa DOB mulai menyalip kita. Banyak hal yang harus dibenahi. Dan itu harus ditapaki dengan optimisme.
Itulah Muna. Segudang permasalahan harus dipahami secara empirik dengan segala dinamikanya yang didominasi oleh pola pikir politik praktis. Apa-apa kerap dikaitkan hal itu. Yah begitulah.
Oh ya, secara faktual Muna termasuk daerah agraris. Dalam basis ilmu sosiologi, masyarakat agraris besar kemungkinan mengembangkan stratifikasi sosial. Ini menurut pendapat Gould (1960).
Di Muna kenyataannya seperti itu. Ada stratifikasi sosial yang hidup. Dengan hati-hati saya menganggapnya sebagai pembagian peran ; pemaknaan historisnya seperti itu.
Karena pada prinsipnya semua manusia dilahirkan secara sama sederajat. Meski dalam basis nilai-nilai yang hidup, itu berubah karena status ; penguasaan alat produksi/modal.
Dalam masyarakat tipe ini ada ciri esensial yang menonjol, yakni tingkat perubahan teknologi yang relatif lambat. Jika kita telisik lebih dalam, berkoherensi fakta yang ada di Muna selama ini. Kita lambat dalam memanfaatkan teknologi pertanian.
Bagaimana tergambar kontras dengan globalisasi yang demam dengan kondisi disrupsi. Faktualnya, dunia dalam hegemoni revolusi Industri 4.0 yang digagas Jerman atau Society 5.0 yang diluncurkan oleh Jepang dalam kebijakan politiknya.
Meskipun lahir dari basis masalah yang berbeda, namun gejala sosial telah nyata, bahwa nilai teknologi itu akan mendominasi praktis kehidupan ke depan dalam berbagai aspek.
Tapi teori tetaplah teori. Itu pemampatan fakta. Bisa jadi resep perubahan bagi yang memaknainya dengan cermat. Goethe Sang Filsuf Jerman bahkan sudah mengingatkan bahwa teori adalah pilihan yang memaknai realitas. Realitas itulah yang terus hidup dan bergerak.
Identitas manusia tak pernah final. Percakapan sosial akan menimpanya menjadi apa dan bagaimana. Inilah yang membutuhkan perubahan. Menurut Rhenald Kasali itu dimulai dari manusia-manusianya.
Jangankan sumber daya alam, sumber daya manusia kita notabene melimpah. Kecerdasan naturalisnya masyhur ke mana-mana. Hanya saja aksesibilitasnya mungkin yang harus diperbaiki. Kesempatan berbakti kadang tersekat oleh preferensi politik saat Pilkada-Pemilu.
Keterlibatan manusia dalam pembangunan harusnya tepat : right man on the right place. Ilmuwan/kaum profesional kita terlalu banyak yang mengabdi untuk daerah lain. Ada yang malas pulang. Tak sedikit yang merasa tidak dihormati.
Untuk memulai perubahan, kita membutuhkan ide besar yang brilian. Namun ide saja tidak cukup, untuk tanah yang kita cintai ini. Tak akan ada gunanya tanpa satu gerakan yang nyata. Dan gerakan itu harus dimulai, secara pasti dari langkah-langkah kecil, meskipun perlahan.
Melalui momentum ini, kita refleksikan melalui bertindaklaku produktif-bersama membangun Muna. Kembali ke Pandehao Wuto. Lalu bergerak secara dapoangka-angkatawu, dapomasi-masigho, dapopia-piara.
Seperti penggalan falsafah yang dicetuskan Raja Muna Sugi Manuru ; Fetangka Badha Fetangkagho Liwu. Kita mulai dari mencintai kampung ini dengan sebenar-benarnya.
La Ode Muhram Naadu
Pemuda Muna