Nama Orang di Muna
Oleh : La Ode Muhram Naadu
Dulunya, apakah ia Kaomu ataukah ia Walaka diperkenankan menamai diri berdasar Al-quran dan kitab-kitab. Lain halnya dalam strata kebawah, Maradika yang berlapis-lapis golongan pun tak boleh.
Maka muncul nama-nama sakral, seperti La Ode Abdul Rahim, La Ode Husein, dsb.
Tapi, dispensasi berlaku, saat orang tuanya lebih memilih menamai berdasar situasi dan kondisi saat lahir, ataujuga pertimbangan berlatar temporal dan spasial tertentu. Tak lupa, bahwa diawali oleh La untuk Laki-laki, dan Wa untuk Perempuan.
Manakala anak perempuannya lahir saat segera Ibunya me-nyonde Sayur Katembe, maka nama anaknya mungkin Wa Katembe. Atau ketika proses kelahiran dirundung hujan, tentulah sangat mungkin anaknya dinamakan Wa Ghuse. Tapi ketika anak lelakinya lahir dibawah Pohon Enau, maka bisalah dinamakan La Kowala.
Disisi lain, adapula penamaan berdasar harapan atau doa dari orang tuanya. Nama pun terkadang berasa gelar oleh pemberian nama pola ini.
Jika harapan orang tua pada anaknya menjadi orang yang cerdas, bisajadi dinamakan La Ngkowawe. Saat Orang tua berharap Si Bayi menjadi Perempuan berakal, maka mungkin diberi nama Wa Ngkoakala. Ataujuga, jika orang tuanya berharap anaknya kedepan menjadi pemimpin, maka biasa diberi nama dengan nama pemimpin.
Bergeser ke Strata Maradika, nama- nama mereka terdengar cukup pedih. Tapi itulah kondisi saat itu. Pola penamaan mereka dikekang agar tak mendapat kesamaan pada dua strata ke atas. Tapi, itu dulu.
Kemudian roda zaman bergerak. Akulturasi menjadi tak seimbang porsinya, saat nilai-nilai Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamiin menjadi semakin terasuk, membebaskan stratifikasi, membawa kesamaan status kemanusiaan tanpa stempel. Penamaan yang masih terkekang itu kemudian mengalami pergeseran.
Meski pola-pola diatas tak mati dan kenyataannya masih dianut. Nama pun menjadi setakar harapan, sejubah doa. Pola bertambah dengan penambahan nama Rasulullah pada muslim, kemudian diujungnya ditempeli nasab, akar keluarga.
Seperti contoh, nama La Ode Muhammad Ali Sadikin. Artinya, nama panggilannya Ali, anak dari La Ode Sadikin.
Adapula yang tak menambahkan nasab, semisal nama La Ode Pasole, atau La Ege saja.
Sebagaimana hegemoni globalisasi, dunia semakin luntur sekatnya-borderless. Terlebih dengan menggilanya iptek, Amerika dan kamar mandi di rumah pun dapat terhubung oleh lempengan Smarthphone yang tak lebih berat dari sebatang sabun.
Akulturasi yang terjadi berlatar banyak budaya menjadikan pola pemberian nama menjadi berkembang. Tergantung banyak motivasi. Ada yang ingin enak didengar, ada yang ingin mudah diingat, ada yang melambangkan sesuatu, melestarikan nilai dan ada yang terpengaruh oleh apa yang dibaca atau ditonton orang tuanya.
Nama-nama hari ini tentu terdengar keren. Lebih bebas, makin global. Biasanya dibalik nama keren, didakwa pula nama kecilnya, nama panggilan atau sebagai panggilan kesayangan orang tuanya. Meski namanya modern, namun bukan berarti harus meninggalkan pola adat. Mungkin seperti itu maksudnya.
Misalnya, pada nama La Ode Jackson, boleh jadi nama kecilnya La Aso atau La Ono. Atau nama Inggrid Widiyastuti dinama-kecilkan dengan Wa Inggi, dan tidak menutup kemungkinan dipanggil Wa Nggidi.
Pola nama keren menjadi nama kecil, nama panggilan yang bernuansa ke-Muna-an terkadang menjadi terbalik. Menjadi nama Muna yang dikerenkan. Soal nama panggilan yang lebih keren terkadang terjadi pada kaum urban-perantau. Agar terdengar tak asing alasan bijaknya. Tapi mungkin banyak yang lebih bersepakat biar dibilang gaul.
Nama panggilan Pipit, mungkin saja nama aslinya adalah Wa Ndopita. Saat kenalan namanya Tara, bisajadi di akta kelahirannya tertulis La Ode Taratumpu. Atau jika nama fesbuknya tertulis Raisa, tidak menutup kemungkinan nama di rapornya Wa Ngkaisa. Pun itu berlaku jika akun WAnya bernama Hamis, maka mungkin halnya nama Muna-nya La de Hamisi.
Diluar pola-pola diatas, mungkin saja masih banyak lagi pola lainnya. Semua berkembang seiring jaman menua, tergerus oleh gigantiknya globalisasi. Secara pribadi saya bangga dengan nama ke-Muna-an saya. Dan kagum dengan akulturasi budaya di Muna yang membuahkan keragaman pola pemberian nama ini.
Tapi, bagaimana dengan ujaran “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet,” Kata Shakespeare.
Sekonyong itu beliau menghambarkan pemberian nilai pada entitas materi. Kitapun terkadang terjebak dengannya. Padahal Ia sedang mengajak kita merenungkan esensi, keaslian, atau hakikat sebuah materi, apapun namanya.
Memanglah sekuntum mawar tetap harum tanpa nama mawar, dan tanpa nama tahi seonggok tahi tetap busuk. Makanya, soal nama tak sekadar soal label, ia justru soal transeden, maknawi menembus materialistik.
Shakespeare memang cerdas. Ia mampu menerjemahkan realitas ini dengan keapikan abstraksinya. Lantas, bagaimana jika Si Shakespeare itu kita panggil dengan nama La Sekspir?
Wallahu aa’lambishowab