
Politik Pragmatisme Hasilkan Pemimpin Terjebak Lingkaran Setan – mencuat dalam kegiatan refleksi akhir tahun yang diselenggarakan oleh komunitas Lingkar Demokrasi, bertajuk peran partai politik (Parpol) dan ketersediaan lapangan pekerjaan di Kabupaten Muna, Minggu (17/12/2023) malam.
Diskusi mengenai dampak politik pragmatisme yang telah menjadi kronis di Bumi Sowite mendapat sorotan tajam dari Zahrir Baitul. Anggota dewan fraksi Partai Hanura ini kembali mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (Caleg) untuk daerah pemilihan (Dapil) Muna satu (I).
Politik Pragmatisme Hasilkan Pemimpin Terjebak Lingkaran Setan: Diskusi Kritis Bersama Zahrir Baitul
Dalam memulai wacana, Zahrir Baitul menggarisbawahi pentingnya partisipasi partai politik dalam kegiatan semacam ini sebagai medium untuk mendengarkan perspektif, terutama dari segmen pemuda yang sering terabaikan.
“Diperlukan pengembangan forum dialog semacam ini di wilayah ini, sebab merupakan wadah bagi kita semua untuk menangkap sudut pandang, terutama dari kalangan muda, suatu hal yang esensial meski terjadi secara tiba-tiba,” ujar Zahrir.
Baca Juga: Melawan Politik Uang dengan Adat Muna
Dalam konteks Kabupaten Muna, ZB sapaan akrabnya menyoroti fenomena politik pragmatisme yang kini mencengkeram masyarakat. Terutama, ada persepsi luar bahwa politik di Muna cenderung diidentifikasi dengan pendekatan praktis dan tegas.
ZB mengemukakan bahwa Parpol, sebagai lembaga kaderisasi, distribusi pemimpin, dan lembaga aspirasi kepentingan masyarakat, memiliki esensi dasar. Namun, dalam politik kontemporer, Parpol dihadapkan pada kontradiksi antara harapan untuk menghasilkan pemimpin berkualitas dan realitas pragmatisme politik yang mendominasi dalam proses pemilihan umum (Pemilu).
“Namun, jika kita merenung tentang situasi politik saat ini, kita perlu membahasnya terlebih dahulu dari sudut pandang normatif sebelum melangkah ke ranah pragmatisme,” katanya.
Diskusi melibatkan perbincangan luas tentang kondisi politik di tingkat nasional yang cenderung mengedepankan pendekatan pragmatis. Di dalam konteks ini, Parpol ditempatkan dalam situasi di mana mereka harus berinteraksi dengan kader politik yang terpengaruh oleh pengaruh money politik. ZB secara tegas menyoroti ketidaksesuaian antara harapan akan keputusan politik yang strategis dan realitas di lapangan, di mana pemilih cenderung melakukan pilihan secara pragmatis.
“Sejatinya parpol itu menciptakan kader kader politik yang potensial tapi kemudian diperhadapkan dengan pragmatisme politik. Sehingga peran parpol menjadi kurang maksimal dalam rekrutmen kaderisasi politik,” ungkapnya.
Politik Pragmatisme Hasilkan Pemimpin Terjebak Lingkaran Setan: Terjerat Utang
Zahrir Baitul mengilustrasikan pengaruh pragmatisme dalam seleksi kepemimpinan, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif. Dampaknya adalah munculnya dominasi figur-figur pragmatis, sementara individu dengan wawasan dan integritas menemui tantangan bersaing. Situasi ini menyebabkan kepemimpinan terperangkap dalam siklus atau lingkaran setan, di mana mereka harus mengembalikan modal politik dan bahkan terjerat utang politik.
Baca Juga: Money Politik dan Smart Campaign Anak Muda
“Yang terjadi hari ini orang yang tidak punya wawasan baik, tidak punya integritas hanya karena punya modal finansial kemudian bisa menjadi pemimpin,” ketusnya.
ZB mengajak masyarakat untuk memulai perbaikan tatanan politik dengan langkah awal dari diri sendiri. Dalam menyoroti kontradiksi antara harapan akan pemimpin dan legislator yang berkualitas dengan kenyataan bahwa proses pemilihan sering dipengaruhi oleh faktor finansial atau kekuatan money politik, ZB menekankan pentingnya pemilih menyadari konsekuensi dari pilihan pragmatis mereka. Hal ini memungkinkan mereka mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi masyarakat ketika memilih pemimpin dan legislator.
“Kalau ingin memperbaiki tatanan politik kita hari ini, harus dimulai dari diri sendiri. Menuntut kepala daerah dan caleg berkualitas merupakan tantangan, namun penting untuk memahami bahwa pragmatisme dalam pemikiran kita adalah kunci. Fakta-fakta ini perlu diperbaiki untuk mencapai perubahan positif,” ajaknya.
Dalam diskusi ini, Zahrir Baitul menginginkan agar masyarakat lebih mempertimbangkan kualitas dan integritas dalam memilih pemimpin di Kabupaten Muna. Tujuannya adalah memicu refleksi mendalam terhadap dinamika politik, sambil menyadarkan pentingnya menghindari faktor pragmatis seperti money politik.
“Fakta hari ini, evaluasi terhadap kepala daerah dan anggota legislatif lebih cenderung mempertimbangkan isi tas dan kemampuan finansial dibandingkan dengan integritas, menciptakan kontradiksi yang perlu diatasi,” tandasnya.
14 Parpol Tidak Tertarik Hadir Menyampaikan Gagasan
Politik Pragmatisme Hasilkan Pemimpin Terjebak Lingkaran Setan – Sayangnya, hanya dua dari 16 parpol yang diundang khusus untuk Dapil Muna I, termasuk Kecamatan Katobu, Batalaiworu, dan Kecamatan Watopute, yang tampaknya tertarik hadir untuk menyampaikan gagasan mereka dalam kegiatan diskusi.
Terbukti, dalam forum yang mendalam membahas peran parpol dan ketersediaan lapangan pekerjaan, hanya partai Hanura, diwakili oleh Zahrir Baitul dan Muhammad Enrico Emhas Tunah, serta Caleg Partai Perindro, Firman Anwar, yang turut serta. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Muna dan beberapa organisasi mahasiswa dan kepemudaan juga ikut hadir dalam diskusi tersebut.
Laporan; Arto Rasyid
Editor: Gugus Suryaman