Rahasia Kesaktian Air Nenek
Seingat saya kejadian ini berlatar tahun 1997. Sebelum badai krismon meluluhlantahkan perekonomian bangsa ini, termaksud membangkrutkan Bapak saya.
Saya masih tinggal di sebuah rumah yang memiliki halaman yang cukup luas. Di halaman tersebut terdapat Pohon Mangga yang saat itu sedang berbuah lebat, hingga terlalu menggiurkan untuk tidak dipanjat.
Sebagai anak yang sering menonton serial Wiro Sableng, bagi saya adegan berkelahi dan berlincah-ria di atas pohon adalah adegan yang menarik.
Dan tentunya suatu tantangan sulit untuk ditolak jika dipraktikan. Terlebih saat itu kedua orang tua saya sedang keluar. Betapa aman dan leluasanya. Atas dasar dua kata kunci sajalah, yakni mangga dan Wiro Sableng. Mendorong saya untuk memanjat Pohon Mangga saat itu. Ya, itu modusnya.
Saya pun memanjat. Tidak butuh beberapa detik untuk mencapai batang tengah pohon. Sebagai anak yang belum akil baligh, tentu jangkauan tangan saya belum cukup untuk memeluk batangan pohon besar itu dengan utuh, hingga daya lekat tubuh saya agak kurang.
Tanpa harus menggunakan barometer, kecepatan angin memang di atas lazimnya. Perlahan semakin kencang. Dahan-dahan banyak yang bergoyangan, daun-daun mati bergelimpang terbang di udara. Situasinya seperti saat keluarnya jurus pamungkas Kapak Naga Geni 212 dari dada Wiro Sableng.
Sejenak saya terhenti. Ditengah terik siang itu pada sebuah batang pohon kudamaikan tubuh ini dengan bayanganku sendiri. Kupeluk tanpa kucumbui seerat-eratnya. Bertahan dengan goyangan angin dan pelukkan ke pohon yang kurang maksimal.Tiba-tiba..
“Dddrruuuggggg..!!!”
Saya terjatuh. Napas terspasi panjang, sesak, hingga kemudian tersengal. Situasi ini mengagetkan beberapa orang disekitar pohon. Saya dievakuasi tanpa pedoman Pertolongan Pertama Gawat Darurat (PPGD), langsung dibopong panik oleh mereka dalam keadaan lemas.
Tubuh mungilku diarak menuju rumah depan rumah saya. Disitu bertempat tinggal seorang Nenek. Ia kini sudah Almarhumah. Nenek tersebut memang dikenal terbaik soal ilmu tubuh.
Saya dilentangkan. Dikipasi, kemudian dibasuhi air sedikit dibagian kepala. Dalam keadaan lemas lalu saya disuguhi segelas air, yang sebelum diberikan kepada saya dikomat-kamit-i (di fui-fui) terlebih dahulu dengan doa. Yah, sependengaran saya begitu.
Walhasil, setelah meminum air tersebut saya pun kemudian beranjak bangun. Tidak butuh waktu lama kemudian ikut bergabung bermain-main sepeda di halaman rumah.
Air fui-fui tersebut begitu ajaib. Dan seiring waktu berjalan saya banyak menemukan peristilahan untuk menamai air fui-fui tersebut. Ada yang menyebutnya Kaferebua, ada yang mensimpelkan dengan akronim Ka fe er, dan banyak yang menyebutnya dengan Air Nene.
**
Dalam perjalanan hidup, kita sering mengalami berbagai peristiwa-peritiwa yang menimbulkan kesimpulan-kesimpulan yang kemudian bersemayam di otak kita sebagai fakta yang kita percaya adanya.
Fakta tersebut ada yang bertahan selamanya, menjadi sebuah hal yang bersifat doktrinal. Adapula yang berusaha bertanya, membongkar doktrinal tersebut melalui jalur-jalur ilmu.
Seperti halnya dimasa kecil, tentu tak asing jika kita menjelaskan bagaimana terjadinya hujan dengan menyebut bahwa itu kencingnya Wa Mboro-mboro.
Atau menjelaskan pelangi melalui kisah bidadari yang turun ke bumi. Didataran Skandinavia sana bahkan menjawab fenomena guntur dengan melahirkan Legenda Thor, Sang Pendekar berpalu godam itu. Kesemuanya itu adalah cara manusia menjawab pertanyaan-pertanyaan kehidupan ini.
Sifat-sifat doktrinal tersebut ditaati dan jarang terbongkar keilmiahannya. Hal ini sering dilatarbelakangi oleh latar sosio-kultural tempat hidup kita yang mengkultuskan kebenaran otoritas. Yakni, tak merenungi dengan apa kata dari orang tua, orang pintar. Padahal, bisa saja tersingkap kebenaran luar biasa akan Maha Kuasanya Sang Pencipta dibalik itu semua tanpa harus dilabeli gaib terlebih dahulu.
Nah, bagaimana dengan fenomena Air Nene?
Dibalik Air Nene ternyata tersingkap fakta ilmiah. Sebuah sifat kebenaran yang banyak diyakini manusia zaman now. Menelusuri fakta akan ini adalah suatu hal yang baik, sebagaimana ini merupakan tanda-tanda kebesaran Sang Pencipta.
Tentu, kita tak mau menjadi manusia-manusia gua, sebagaimana disinyalir oleh Plato. Manusia yang duduk didalam gua dan meyakini bahwa bayang-bayangan dimulut gua adalah realitas yang sebenarnya, tak perlu dibantah, ditelusuri faktanya.
Kita mesti menjadi manusia modern yang disebut oleh Betrand Russel, yang berkata bahwa suatu hal yang biasa bagi manusia masa kini bahwa kebenaran suatu fakta harus ditentukan oleh pengamatan. Seperti pula kata Francis Bacon, kita tak boleh menyetujui dahulu suatu kesimpulan sebelum mengumpulkan fakta untuk mendukungnya.
Baik Plato, Betrand Russel, pun Francis Bacon memiliki dua kesamaan. Yang pertama mereka berhasil mengayomi manusia dalam mendobrak gaya pemikirannya, yang kedua mereka sama-sama belum merasakan kedahsyatan Air Nene. Hehe.
Air Nene, sebagaimana media pengobatan yang sakral sejak dahulu dianggap mampu menjawab permasalahan penyakit-penyakit manusia.
Dimasyarakat kita, Air Nene kadang menjadi sarana penyembuhan kumulatif, meskipun sedang dilakukan penyembuhan medis.
Diluar itu, ada berbagai tindak-tanduk perilaku manusia yang rasanya kurang afdol jika tidak dibekali Air Nene. Seperti merantau, masuk ke tempat keramat, pergi ujian sekolah, berdagang serta lain-lain. Oh iya, bakupukul juga kayaknya. Ahahae.
Air Nene sebagai fenomena ajaib sangat relevan dengan hasil sebuah penelitian oleh Dr. Emoto, seorang lulusan dari Yokohama Municipal University dan Open International University sebagai Doctor of Alternative Medicine.
Dalam eksperimen fotografi dan ilmiahnya yang luar biasa, Dr. Emoto menemukan bahwa terjadi perubahan yang memukau pada kristal air tergantung dari bentuk perlakuan kita pada kristal air tersebut.
Ketika dia dan asisten laboratoriumnya berucap pada air dengan kata “terima kasih,” air berubah menjadi kristal heksagonal yang indah. Berbanding kontras dengan air yang diberi ucapan kata “bodoh” yang menghasilkan kristal jelek yang mirip dengan air yang terpapar logam berat.
Apakah ini relevan dengan Air Nene?, tentu saja. Kita bisa menghasilkan kesimpulan seperti itu. Dengan kata-kata baik, pada percobaan Dr.Emoto, air akan menjadi energi positif.
Bagaimana jika doa-doa dengan kandungan kata-kata baik dengan meminta kuasa Sang Pencipta yang dihantarkan dengan media air masuk kedalam tubuh kita yang terdiri dari 70% cairan ini?
Air akan berubah menjadi energi yang positif saat diperlakukan baik. Dalam partikel terkecilnya hal itu terlihat dalam teknik yang ilmiah dan sudah sejak lama terbuktikan dahsyatnya pada Air Nene seperti kisah nyata yang saya alami diatas.
Dr. Emoto pun berujar, saat kita memperlakukan air dengan cinta dan syukur, air timbal balik dengan memberi kembali kepada kita kristal yang paling indah berbentuk yang pernah kita bayangkan.
Nampaknya hal ini agak relevan pula dengan Teori Ary Ginanjar Agustian dalam Buku ESQnya yang mengatakan bahwa kata-kata baik akan beresonansi kedalam tubuh kita.
Mengucapkan kata-kata baik akan membuat hidup kita baik. Dari itu kita pun bisa mengetahui bahwa berdzikir, berdoa tentu mendatangkan kekuatan pada tubuh manusia yang notabene 70% berupa cairan.
Mungkin seperti itu pula dengan perihal kita dituntun harus tenang ketika mendengarkan orang membaca Al-Quran, mendengarkan adzan. Wallahu a’lam.
Oh ya, kembali ke Air Nene. Dengan seujub doa-doa yang dihantarkan pada media air segelas/ sebotol terbayang kekuatan yang terkandung didalamnya. Air yang diberi doa jika masuk kedalam tubuh tentu membawa dampak baik.
Atas Air Nene, saya pun terkagum-kagum oleh orang tua kita dahulu. Bagaimana mereka mengetahui hal dahsyat ini sejak dulu kala. Hubungan air dan perlakuan baik terhadapnya.
Bahkan dunia modern baru mengetahui ini melalui hasil riset Dr. Emoto, yang membuat penonton presentasinya di Swiss, Jerman, Australia, Belanda, Kanada dan Amerika Serikat, menangis.
Orang tua kita dahulu mungkin bahkan tak berkontemplasi ala Russel dan Bacon demi mendayagunakan kedahsyatan air. Mereka punya cara yang tersendiri memahami realitas ini, tidak seperti saya yang bersusah payah berdialektika dan mesti mengutip abstraksi Plato, Russel, Bacon, Emoto, Ary Ginanjar dan mencoba menulis ini se-readable mungkin.
Saya terpukau, walau sejatinya mereka hanya menjelaskan bahasa realitas dunia ini dalam bentuk yang lebih mudah kita pahami.
Yah, sebab realitas itulah yang akan terus hidup, segala pilihan teori untuk menjelaskannya adalah abu-abu. All theories are grey, kata Goethe Si Penyair yang juga Filsuf asal Jerman itu.
Pada akhirnya kita sadar bahwa dunia ini penuh dengan tanda-tanda kebesaran Sang Pencipta, yang ketika kita menelusurinya akan semakin menyadarkan betapa kecilnya kita manusia ini dengan segala pengetahuannya yang sombong. Ya, sombong.
Air Nene memang hebat, dan itu terbukti ilmiah. Orang-orang tua kita dulu mungkin tak punya cara untuk menjelaskan betapa luar biasanya dunia ini secara riset ilmiah modern.
Mereka tak perlu menjadi Profesor, doktor, tokoh untuk kita percaya kehebatannya. Cukup menyuguhkan segelas-botol Air yang di fui-fui, kemudian tersenyum dan.. “Uhukk.. uhukk.. Foroghumo..”
_____
Penulis: La Ode Muhram Naadu