Katanya La Ege

Siapa Figur Politik yang Layak Dipilih?

Oleh : La Ode Muhram Naadu

Bak cendawan di musim hujan, belakangan ini berseliweran baliho/flyer memanjakan mata. Seiring memasuki momentum kontestasi politik elektorat. Ada wajah baru juga wajah lama. Ada yang track recordnya bagus tapi tak berpengalaman dalam politik praktis. Ada yang hanya bermodal nama besar tapi tak punya pengalaman. Segala macam tersirat.

Publik disuguhi bermacam pilihan. Tak sedikit yang sangsi akan kemunculan wajah-wajah yang seolah tak kapabel. Tak pantas. Hal ini bermuara pada tanya, siapa saja yang boleh mengajukan diri dalam pilcaleg/pilkada?

Ini adalah persoalan hak politik. Sebuah hak yang kadang tak dipahami secara baik oleh konstituen. Notebene sebagai pemegang kedaulatan membutuhkan pencerahan. Agar kiranya kekuasaan yang mereka amanahkan tepat pada figur yang tepat.

Hak politik adalah hak konstitusional. Ada hak memilih (right to vote) ada juga hak dipilih (right to be a candidate). Itulah yang menjamin hasrat politik anda-anda sekalian. Untuk memilih atau maju di pilpres, memilih atau mencaleg di pemilu, untuk memilih atau mencalonkan diri pada pilkada.

Hak politik ini adalah bagian dari HAM. Namun bukan berarti diidentik-persamakan. Sebab hak politik – hak dipilih terbatasi pada kedudukan kita sebagai Warga Negara. Sedang HAM tak mengenal pembatasan status sebagaimana dipersyaratkan sahnya dalam konteks warga negara.

Dalam topik ini, fokus membahas mengenai hak dipilih. Pada satu sisi hak dipilih kerap dianggap sebagai HAM. Hingga banyak oknum yang menganggap dirinya layak jadi figur untuk dipilih.

Disisi lain, hak politik – hak dipilih sebagaimana hak untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan diperhadapkan pada kedaulatan rakyat yang mempersyaratkan individu mana yang berhak dipilih.

Notabene, syarat tersebut dari bentuknya adalah syarat preventif : yang cenderung bersifat moral dan syarat korektif : yang bersifat hukum.

Apa bedanya?

Syarat korektif ada pada norma pembatasan calon yang ada dalam perundang-undangan. Sedang syarat preventif ini terkadang tidak terdapat pada norma hukum.

Norma pembatasan calon cenderung menghargai kesetaraan (equal) posisi warga negara didalam hukum dan pemerintahan sebagaimana amanah konstitusi. Olehnya itu, secara kualitas kepemimpinan sangat sulit untuk menjaring pemimpin yang ideal dari skema ini. Semuanya sama.

Yah, semua orang bebas mencalon. Terkecuali dengan pembatasan tertentu oleh pengadilan atau peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang. Apapun backgroundnya. Apakah dia dari kalangan oligarkis bahkan ex koruptor sekalipun. Dengan catatan memenuhi syarat calon tentunya.

Lain halnya dengan syarat preventif. Ada instrumen yang bisa kita upayakan sebagai standar nilai kepemimpinan yang harus dicapai.

Syarat preventif ini mesti kita tegakkan. Karena sangat penting dan efektif bak filter. Sebagai rakyat pemegang kedaulatan, kita berhak menyeleksi individu yang akan memimpin-mewakili kita dari indikator tersebut.

Rekam jejak adalah salah satu indikator utama. Di jaman teknologi ini, tidak begitu sulit untuk mengidentifikasi hal tersebut. Satu-satunya yang mempersulit adalah kemauan saja kita untuk mengetahui.

Momentum politik sangat membutuhkan kejelian. Sejauh mana kemauan kita untuk mengubah sistem perekrutan kepemimpinan yang ada.

Apakah kita mempertahankan pola demokrasi pasar bebas dengan mereduksi nilai-nilai, ataukah kita ingin merubah itu semua dengan standar nilai yang kita bangun dimasyarakat sebagai konsensus?

Demokrasi asupannya adalah pendidikan. Tanpa pencerdasan politik segala kemuliaan tujuannya yang kita pelajari hanyalah sebatas konsepsi. Ia hanya ada dalam bincangan warung kopi. Terhembus dan hilang bagai kepulan asap rokok, tenggelam kelam dalam pahitnya kopi hitam.

Olehnya itu, dalam setiap momentum politik, marilah kita lahirkan pemimpin yang benar-benar memiliki rekam jejak baik, bermoral baik sebagai landasan karakter seorang pemimpin. Tak sedikit hari ini yang menyesal karena salah memilih. Dan penyesalan tersebut harus dibayar mahal. Masih maukah kita memilih sembarangan? Hanya karena keramahannya yang menipu? atau sogokannya yang fantastis? Stop praktik demikian. Bongkar kebiasaan lama.

Wallahu’alambishowab

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button