Oleh:Ashar hasyim, S.I.Kom.,M.A.P
Penyelengaraan pemilihan (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak di tahun yang sama yakni tahun 2024 di indonesia akan menjadi sejarah baru bagi dunia perpolitikan indonesia.
Dalam penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai salah satu lembaga penyelenggara pemilu, berkomitmen mewujudkan pemilu dan pilkada serentak pada tahun 2024 berjalan secara aman, lancar, tertib, dan damai. Untuk merealisasikan komitmen tersebut, berbagai upaya pun mulai ditempuh KPU.
Salah satunya adalah membuka ruang diskusi untuk mengurai satu per satu persoalan dan tantangan yang akan dihadapi, guna menemukan solusi terbaik demi mewujudkan penyelenggaraan pemilu lebih baik di 2024.
Dari berbagai ruang diskusi yang dilaksanakan muncul pertanyaan menarik mengenai pelaksaan Pemilu Serentak di Indonesia tahun 2024, yakni prihal misinformasi dan disinformasi melalui Media Sosial dan segala perkembangan teknologi yang pesat didalamnya.
Penyebaran misinformasi dan disinformasi terkait pemilu merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia untuk mewujudkan penyelenggaraan Pemilu 2024 yang lebih baik.
Seperti yang umum diketahui, misinformasi mengenai pemilu bukanlah hal baru yang disadari oleh sejumlah pihak, mulai dari akademisi, pemerhati pemilu, hingga pihak penyelenggara pemilu, sebagai salah satu tantangan terbesar dari penyelenggaraan pemilu.
Penyebaran misinformasi tentang pemilu di Indonesia adalah suatu keadaan dimana seseorang menyebarkan informasi yang keliru, karena mereka menganggap informasi tersebut benar. Kondisi seperti itu tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa literasi pemilu bagi masyarakat masih rendah.
Untuk menghentikan laju penyebaran misinformasi tentang pemilu, literasi pemilu bagi pemilih harus menjadi agenda utama yang harus dijalankan lembaga penyelenggara pemilu.
Kemudian, berkenaan dengan disinformasi atau informasi palsu yang sengaja disebarkan oknum tidak bertanggung jawab di dunia maya, baik berupa berita bohong maupun kampanye hitam, memang menjadi masalah yang semakin sering terjadi dalam pesta demokrasi di Indonesia. Berkenaan dengan dampak dari penyebaran disinformasi, dapat menyerang beragam pihak yang terkait dengan dunia pemilu, baik jurnalis yang memberitakan pemilu, institusi penyelenggara pemilu, maupun para pihak yang menjadi peserta pemilu.
Untuk menaklukkan tantangan tersebut, perlu bersinergi antara pihak penyelenggara pemilu, dalam hal ini Bawaslu sebagai pengawas, dan kelompok masyarakat sipil selaku pemerhati pemilu, serta pihak penyedia platform media sosial. Para pihak tersebut perlu bersinergi dalam merencanakan strategi dan mengimplementasikan beragam upaya untuk membendung disinformasi tentang pemilu.
Disinformasi pemilu menjadi tantangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, karena hal tersebut banyak terjadi pada pesta demokrasi tahun-tahun sebelumnya, yakni di Pemilu 2014 dan 2019.
Tren disinformasi Pemilu 2014 digunakan untuk mengubah persepsi masyarakat. Misalnya, seorang pemilih semula senang dengan calon inisial A, namun dengan adanya disinformasi, maka pemilih itu bisa berganti pilihan. Sementara pada penyelenggaraan Pemilu 2019, disinformasi mengalami perubahan pola.
Penyebaran disinformasi kala itu lebih ditujukan untuk memengaruhi emosi dan perilaku masyarakat dalam memilih. Tantangan terbesar untuk mewujudkan penyelenggaraan Pemilu 2024 adalah kemampuan beradaptasi di era transformasi digital secara tepat. Transformasi digital merupakan fenomena yang benar-benar terjadi dan tidak dapat dihindari termasuk di dunia pemilu.
Oleh karena itu, mau tidak mau, penyelenggara pemilu pun dituntut untuk beradaptasi dengan dunia digital.
Dalam praktik penyelenggaraan pemilu di Indonesia, KPU telah memanfaatkan teknologi digital dalam beberapa tahapan pemilu, di antaranya adalah aplikasi LindungiHakmu, Selanjutnya KPU juga membentuk Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), yang merupakan tata cara pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu secara digital.
Lalu, ada pula Sistem Informasi Pencalonan Pilkada (Silon), Sistem Informasi Logistik (Silog), dan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap).
Dari seluruh pembahasan di atas, dapat dipahami penyelenggaraan pemilu dari masa ke masa memang tidak dapat dilepaskan dari kemunculan beragam tantangan baru. Meskipun begitu, ada pula beragam upaya untuk menaklukkan hal tersebut yang dapat ditempuh oleh berbagai pihak, terutama pihak penyelenggara.
Salah satunya adalah mengadakan forum dengan berbagai pemangku kepentingan untuk membahas persoalan misinformasi serta disinformasi yang dapat merusak kredibilitas dan persepsi masyarakat mengenai pemilu dan pilkada di Indonesia. langkah antisipatif seperti itu diharapkan semakin diperbanyak oleh pihak penyelenggara pemilu, antisipasi itu mampu benar-benar mewujudkan penyelenggaraan Pemilu 2024 yang lebih baik. (*)