Wanita Pahlawan di Sisi Sangia Kaendea

Latar abad ke 17. Prahara antara Makassar, Ternate dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) berdampak pada situasi sekitarnya. Menurut Pim Schoorl, Buton ibarat shuttle cock, yang ditepok diantara tiga kekuasaan tersebut.
Stabilitas pun diupayakan. Sultan Dayanu Ikhsanuddin – La Elangi (1578-1615) memilih VOC sebagai lindung kuasa.
Ditahun 1613 mereka berikrar atas persaudaraan abadi – mengikrarkan “Kontrak Perjanjian Shcet-Elangi” – dikenal dengan istilah “Janji Baana” (janji pertama). VOC kala itu diwakili oleh Komandeur Apollonius Schotte.
Peristiwa janji setia itu terekam dalam syair “Kabanti” Haji Abdul Ganiu di Abad ke-19, yang diistilahkan layaknya “labu rope labu wana” atau “berlabuh haluan, berlabuh buritan” (diterjemahkan oleh Abdul Mulku Zahari : 1980).
Kedua saudara itu rupa-rupanya berniat melanggengkan ekspansinya ke wilayah sekitar. Di tahun 1627 VOC mulai mencampuri urusan Muna – mengajak melawan musuhnya, yakni Gowa.
Mendengar siasat itu, La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaendea – Raja Muna ke 12 (1617-1669) menolak. Ia mengundang Sarano Wuna – Dewan Kerajaan Muna untuk bermusyawarah perihal langkah yang akan diambil.
Sarano Wuna mengadakan Rapat Besar – “Rompuha” di Lambu Bhalano pada Tahun 1628. Ada tiga maklumat dihasilkan:
Pertama, Belanda tak boleh masuk di tanah Muna.
Kedua, Muna tak bersedia menjalin kerjasama dengan Buton selama masih bekerjasama dengan VOC.
Ketiga, Muna memberi bantuan pada pasukan Sultan Hasanuddin – (Raja Gowa ke 16) yang saat itu sementara berlindung di Tiworo.
Sikap tersebut memicu bara perselisihan. Beberapa konflik menyala-nyala. Muna yang berafiliasi dengan Gowa terlalu tangguh untuk dikalahkan oleh Duo Saudara Abadi VOC-Buton.
Tak patah arang. Siasat diumpan. VOC mengupayakan jalan perkawinan sebagai muslihat damai berselebung penaklukan. La Ode Ngkadiri dijodohkan dengan Wa Ode Sope.
Merupakan putri dari Laode Arafani – Sapati Baluwu, yang diangkat sebagai anak oleh Cornelis Speelman dan dibesarkan oleh Admirla di Makassar.
Misi Sapati Baluwu – Sultan Buton bersama VOC saat itu untuk berekspansi ke Muna, menyerang Gowa terendus La Ode Ngkadiri. Hal itu menuntunnya untuk membatalkan rencana pernikahannya dengan Wa Ode Sope.
Ia pun memilih untuk menikahi Wa Ode Wakelu, Putri dari Sapati Kapolangku, yang saat itu merupakan salah satu pemimpin Buton yang menentang VOC. Suatu jalan juang yang sama.
Pilihan pernikahan ideologis tersebut membuat VOC berang bukan kepalang. Siasat penyatuan kekuasaan melalui perkawinan akhirnya pupus. Dan malah berbuah perang berkepanjangan.
Perang yang berkecamuk mengubah arah strategi dan taktik VOC. Suatu waktu La Ode Ngkadiri diundang ke Buton oleh VOC. Dengan dalih untuk melakukan perundingan, yang bertujuan menghentikan peperangan yang telah berlangsung cukup lama.
La Ode Ngkadiri diundang berunding sembari berpesiar oleh VOC diatas kapal. Kapal tersebut berhias taman, dipenuhi bunga-bunga, yang disebut oleh orang Muna sebagai Kapal “Kaendea”. Muasal inilah ia digelari Sangia Kaendea.
Ajakan berunding itu ternyata tipu muslihat. La Ode Ngkadiri diculik, diasingkan ke Ternate selama 3 tahun. VOC berdalih bahwa La Ode Ngkadiri telah bersalah, atas ingkar jani menikahi Wa Ode Sope. Sebuah pepesan kosong dari tindakan licik. Diasingkannya La Ode Ngkadiri menjadikan Muna mengalami kekosongan Raja.
Kekosongan pemerintahan direspon oleh Sarano Wuna saat itu dengan menggelar “Rompuha”. Sebagai keputusan mufakat, Sang Permaisuri Wa Ode Wakelu diangkat sebagai Pelaksana Pemerintahan.
Tak hanya diam. Di tahun 1655, Wa Ode Wakelu berniat teguh membebaskan suaminya. Langkah persuasif diambil. Ia menghadap sepasang saudara VOC – Buton agar membebaskan La Ode Ngkadiri dari hukuman pengasingan.
Disamping itu, Wa Ode Wakelu mempersiapkan pasukan khusus untuk menghadapi situasi invasi yang bisa saja terjadi kapan pun.
Menjejali laku diplomasi, Sang Permaisuri berangkat ke Ternate. Dengan kelihaian dan kegigihannya ia berhasil membebaskan Sang Raja La Ode Ngkadiri. Kematangan strategi berlandaskan cinta membuahkan hasil.
Pembebasan tersebut berhasil tanpa setetes darah pun yang jatuh ke bumi. Apa yang dilakukan Wa Ode Wakelu tak lazim dilakukan oleh wanita. Ada nilai kepahlawanan yang bisa dikenang dari perjuangannya.
Sang Permaisuri memboyong pulang Sang Raja ke tahtanya kembali. Sungguh, betapa kekuatan cinta dan perjuangan Wa Ode Wakelu menunjukkan bahwa La Ode Ngkadiri tak pernah salah memilihnya. Suatu pilihan cinta, sebuah langkah ideologis yang teruji oleh badai kekuasaan.
Bersambung…
Sumber Buku:
Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Sulawesi Tenggara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional – Husein A. Chalik dkk :1983/1984.
Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Pim Schoorl, Penerjemah: G. Winaya : 2003.
Syair Ajonga Inda Malusya karya Haji Abdul Ganiyu terjemahan Abdul Mulku Zahari : 1980.
Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya – Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah : 1978/1979.
Sejarah Kerajaan Daerah Muna – Drs. La Kimi Batoa : 1991.
Kerajaan Muna dan Sistem Kemasyarakatan – Muhammad Nasrun : 1987/1988.
Website:
https://www.butonmagz.id/2018/12/jejak-jejak-perjanjian-di-kesultanan.html
https://sejarahwuna.wordpress.com/2011/04/07/raja-muna-la-ode-ngkadiri-wa-ode-wakelu/
https://lapatuju.blogspot.com/2013/09/profil-pejuang-sulawesi-tenggara-masa_8781.html